Sampai sekarang saya nggak bisa
jawab kalau ada yang tanya begitu. Karena pemandangan? Kepuasan diri mencapai
puncak? Biar keren? Biar kelihatan kuat? Nggak yakin juga. Kalau ditanya juga ‘capek
nggak?’ ya capeklah, wong naik gunung
pakai kaki bukan gondola. Mwehehe. Dibanding temen-temen yang lain, mungkin saya
masih cupu. Seven summits Indonesia belum satupun saya jamah. Jadi opsi biar
keren tadi bisa dicoret. Terus kenapa dong Dit?
Awal mula saya naik gunung adalah
gunung Gede, yang ada di Jawa Barat. Sepulang dari Gede itu, karena untuk
pertama kalinya naik, seluruh badan rasanya sakit. Terutama kaki, yang bikin repot
kalau harus ke toilet karena begitu ditekuk dikit hhhhmmm ampun deh. Tapi seru,
nggak tahu kenapa sakitnya habis naik gunung itu beda. Nah setelah itu saya
menjajal Merbabu. Kalau di Gede belajar basic
mendaki, di Merbabu saya dikasih pemandangan yang bagus banget karena memang
banyak sabana dan jarak pandangnya luas. Disinilah kenikmatan kedua yang saya
dapat dari naik gunung, sekaligus faktor kedua kenapa saya naik gunung setelah
rasa remuk di badan tadi (aneh ya lo Dit, badan remuk abis naik gunung kok bisa
dinikmatin).
di Salak bersama teman-teman PINUS
Pendakian ketiga saya adalah
Gunung Rakutak. Pada waktu itu saya sudah kenal dengan yang namanya komunitas.
Dimana saya ketemu dengan orang-orang yang minat hobinya sama dengan saya. Ini adalah
faktor ketiga kenapa saya demen naik gunung. Jalinan pertemanan di lintas
komunitas itu bisa asik banget apalagi dibarengi kegiatan sosial. Nah balik
lagi ke Rakutak, di sinilah saya mengenal hal baru lagi dalam mendaki gunung. Di
gunung yang relatif pendek ini saya dan teman-teman bertemu banyak sungai, hutan
yang masih lebat dan cuaca yang kurang bersahabat waktu itu. tapi karena kita
ramean, jadi medan-medan sulit itu bisa kita lalui dengan lancar. Dari sini saya
mulai mencari ilmu-ilmu baru seputar naik gunung. Rasa ingin tahu itulah faktor
ketiga semenjak pendakian ini. Dan tentang komunitas, sungguh sangat amat
membantu. Mulai dari teman baru, kegiatan baru, ilmu baru dan juga tentunya
pengalaman pertemanan yang baru karena kami smeua berasal dari latar belakang
industri yang berbeda.
Karena waktu itu masih anak
kuliahan, saya bisa naik gunung 2-3 bulan sekali. Pendakian keempat adalah
Ungaran. Disana bisa dibilang biasa aja, walaupun tetap punya cerita. Kelima
adalah Merapi. Gunung ini bisa dibilang salah satu idaman sejak remaja. Haha.
Karena kisahnya yang terkenal, atau juga karena siklus meletusnya yang konstan.
Puncak Merapi adalah salah satu puncak yang membuat saya nyaris menyerah. Sejak
dari pasar bubrah sampai ke puncak, kita nggak akan dikasih ampun. Tapi itu
adalah momen dimana saya akhirnya tahu begaimana wujud kawah gunung aktif.
Hayo, penasaran nggak? Tapi sekarang pendakian Merapi dibatasi sampai pasar bubrah
karena banyak faktor terutama mengenai keselamatan pendaki. Merapi adalah
pendukung faktor keempat yaitu keinginan menjajal tipe gunung yang berbeda.
sore hari di Merapi
Setelah Merapi, saya bersama
teman-teman Pinus menjajal Gunung Salak. Hehehe. Pastinya sudah terkenal banget
keangkeran dan keganasan 7 puncaknya. Tapi jelas dong, kami hanya menjajal 1
puncak karena itupun memakan waktu 2 malam. Salak buat saya adalah ‘kakaknya’
Rakutak. Medannya hampir sama, tingkat kesulitannya hampir sama. Tapi karena
lebih tinggi dan luas, tinggal dikali 3 aja rasa capeknya. Pada waktu pendakian
Salak inilah saya menyadari kalau seringkali saya masih kekanak-kanakan waktu
mendaki bareng teman-teman.
Saya sering baper, sering kesal sendiri kalau
capek, sering yang lain-lain yang mungkin bikin teman saya nggak nyaman. Nah
disinilah saya belajar untuk mengontrol emosi disaat situasi apapun. Namanya
juga naik gunung, sama-sama capek jadi jangan asal senggol bacok dong. Nah
sampai sekarang saya berusaha untuk sesantai mungkin saat naik gunung, biar
tenaga dan emosi terjaga. Ini adalah faktor kelima kenapa saya masih demen naik
gunung saat sibuk, yaitu media mengontrol diri.
Tangerang,
05 Juni 2017
Tangerang,
05 Juni 2017
0 komentar