Kenapa sih Dit naik gunung? (1)

by - 23.16.00


Sampai sekarang saya nggak bisa jawab kalau ada yang tanya begitu. Karena pemandangan? Kepuasan diri mencapai puncak? Biar keren? Biar kelihatan kuat? Nggak yakin juga. Kalau ditanya juga ‘capek nggak?’ ya capeklah, wong naik gunung pakai kaki bukan gondola. Mwehehe. Dibanding temen-temen yang lain, mungkin saya masih cupu. Seven summits Indonesia belum satupun saya jamah. Jadi opsi biar keren tadi bisa dicoret. Terus kenapa dong Dit?

Awal mula saya naik gunung adalah gunung Gede, yang ada di Jawa Barat. Sepulang dari Gede itu, karena untuk pertama kalinya naik, seluruh badan rasanya sakit. Terutama kaki, yang bikin repot kalau harus ke toilet karena begitu ditekuk dikit hhhhmmm ampun deh. Tapi seru, nggak tahu kenapa sakitnya habis naik gunung itu beda. Nah setelah itu saya menjajal Merbabu. Kalau di Gede belajar basic mendaki, di Merbabu saya dikasih pemandangan yang bagus banget karena memang banyak sabana dan jarak pandangnya luas. Disinilah kenikmatan kedua yang saya dapat dari naik gunung, sekaligus faktor kedua kenapa saya naik gunung setelah rasa remuk di badan tadi (aneh ya lo Dit, badan remuk abis naik gunung kok bisa dinikmatin).

di Salak bersama teman-teman PINUS

Pendakian ketiga saya adalah Gunung Rakutak. Pada waktu itu saya sudah kenal dengan yang namanya komunitas. Dimana saya ketemu dengan orang-orang yang minat hobinya sama dengan saya. Ini adalah faktor ketiga kenapa saya demen naik gunung. Jalinan pertemanan di lintas komunitas itu bisa asik banget apalagi dibarengi kegiatan sosial. Nah balik lagi ke Rakutak, di sinilah saya mengenal hal baru lagi dalam mendaki gunung. Di gunung yang relatif pendek ini saya dan teman-teman bertemu banyak sungai, hutan yang masih lebat dan cuaca yang kurang bersahabat waktu itu. tapi karena kita ramean, jadi medan-medan sulit itu bisa kita lalui dengan lancar. Dari sini saya mulai mencari ilmu-ilmu baru seputar naik gunung. Rasa ingin tahu itulah faktor ketiga semenjak pendakian ini. Dan tentang komunitas, sungguh sangat amat membantu. Mulai dari teman baru, kegiatan baru, ilmu baru dan juga tentunya pengalaman pertemanan yang baru karena kami smeua berasal dari latar belakang industri yang berbeda.

Karena waktu itu masih anak kuliahan, saya bisa naik gunung 2-3 bulan sekali. Pendakian keempat adalah Ungaran. Disana bisa dibilang biasa aja, walaupun tetap punya cerita. Kelima adalah Merapi. Gunung ini bisa dibilang salah satu idaman sejak remaja. Haha. Karena kisahnya yang terkenal, atau juga karena siklus meletusnya yang konstan. Puncak Merapi adalah salah satu puncak yang membuat saya nyaris menyerah. Sejak dari pasar bubrah sampai ke puncak, kita nggak akan dikasih ampun. Tapi itu adalah momen dimana saya akhirnya tahu begaimana wujud kawah gunung aktif. Hayo, penasaran nggak? Tapi sekarang pendakian Merapi dibatasi sampai pasar bubrah karena banyak faktor terutama mengenai keselamatan pendaki. Merapi adalah pendukung faktor keempat yaitu keinginan menjajal tipe gunung yang berbeda.

sore hari di Merapi

Setelah Merapi, saya bersama teman-teman Pinus menjajal Gunung Salak. Hehehe. Pastinya sudah terkenal banget keangkeran dan keganasan 7 puncaknya. Tapi jelas dong, kami hanya menjajal 1 puncak karena itupun memakan waktu 2 malam. Salak buat saya adalah ‘kakaknya’ Rakutak. Medannya hampir sama, tingkat kesulitannya hampir sama. Tapi karena lebih tinggi dan luas, tinggal dikali 3 aja rasa capeknya. Pada waktu pendakian Salak inilah saya menyadari kalau seringkali saya masih kekanak-kanakan waktu mendaki bareng teman-teman. 

Saya sering baper, sering kesal sendiri kalau capek, sering yang lain-lain yang mungkin bikin teman saya nggak nyaman. Nah disinilah saya belajar untuk mengontrol emosi disaat situasi apapun. Namanya juga naik gunung, sama-sama capek jadi jangan asal senggol bacok dong. Nah sampai sekarang saya berusaha untuk sesantai mungkin saat naik gunung, biar tenaga dan emosi terjaga. Ini adalah faktor kelima kenapa saya masih demen naik gunung saat sibuk, yaitu media mengontrol diri.

Tangerang,
05 Juni 2017

You May Also Like

0 komentar