Menulis itu bebas. Sebuah kalimat yang paling dekat dengan penulis
bernama Seno Gumira Ajidarma (kerap disebut SGA dalam tulisan-tulisan
pembacanya). Saya baru tahu bahwa menulis bisa begitu liar untuk sebuah objek :
senja. Sebagai mahasiswa-bukan-jurusan-sastra, saya tidak tahu harus
mengolongkan kumpulan cerpen ini dalam genre apa. Tapi saya rasa, ia lebih
merapat pada surealis daripada realis. Tapi ada juga, yang menyebutnya realisme-magis.
Ah, apasih, toh yang saya lakukan hanya membaca, menikmati kata-kata di
dalamnya dan berimajinasi sebebas-bebasnya. Sebab, yang ditulis Pak Seno ini,
sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang mengerat sebuah senja,
yang merupakan bagian dari semesta, untuk masuk ke dalam saku dan dikirim pada
perempuan yang dicintainya?
Dalam buku Sepotong senja untuk pacarku yang berisi 16 cerpen, ada
sekiranya 3 tokoh penting : Sukab, Alina dan Tukang pos. Si Sukab ini, namanya
sering dipakai oleh Pak Seno di tulisan-tulisannya. Sehingga, karakter Sukab tidak pernah konsisten. Ia bisa menjadi
remaja belasan tahun, pemuda tajir atau sekedar tokoh numpang lewat. Yang paling
menarik, tentunya, Trilogi Alina. Di sinilah pendekatan sureal sungguh terasa. Waktu
membacanya, akhirnya saya masa bodoh dengan kenyataan dan melepas akal sehat. Untuk sampai ke titik tersebut, saya sudah
membayangkan bagaimana senja yang digambarkan oleh Pak Seno dengan detail mulai
dari langit keemasan, debur ombak, kepak burung dan matahari setengah terbenam.
Sampai akhirnya, Sukab memotongnya pada empat sisi dan memasukkannya ke amplop
untuk di kirim kepada Alina.
Surat itu baru sampai 10 tahun kemudian. Sebab, Tukang pos yang jahil
tidak hanya mengintip, namun masuk ke dalamnya dan tinggal di sana selama 10
tahun. Coba jelaskan : bagaimana mungkin seseorang masuk ke dalam amplop, yang
berisi senja, lengkap dengan daratan pasir dan langit jingganya, lalu keluar 10
tahun kemudian tanpa pernah menua. Rasanya, adegan seperti itu hanya ada di
film-film Hollywood saja. Saya jadi penasaran, berapa lapis kehidupan ini ada?
apakah kita juga tinggal di dalam sebuah potongan semesta? Ah sudahlah, toh
kegilaan ini belum berakhir. Surat balasan Alina, ternyata lebih menggelikan
lagi.
Surat itu sampai kepada Alina, dari seorang tukang pos yang wajahnya
bahagia. Begitu surat itu terbuka, senja itu luber keluar, sehingga matahari di
salamnya beradu dengan matahari yang sebenarnya. Tunggu. Memangnya kita tahu,
mana matahari yang sebenarnya? Kata Alina, akibat laut dari sepotong senja itu
luber, air bah Nuh terulang kembali. Maka ia mengumpat, menyumpahi Sukab yang
menurutnya tidak punya otak itu sebab semua orang mati akibat air menggenangi
seluruh bumi. Nah, sampai di sini, bukankah sudah dapat kalian duga seperti apa
cerpen yang di tulis Pak Seno?
Terlepas dari imajinasi liar yang ada dalam cerita ini, perasaan Sukab
terhadap Alina saya rasa perlu juga ditanggapi. Bagaimana tidak, coba kau baca
kalimat terakhir dari Sukab dalam cerpen ini :
Dengan ini kukirimkan pula
kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah
tempat yang paling sunyi di dunia.
Atau yang ini :
Setiap kata bisa diganti
artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina. Kukirimkan
sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta.
Yah pokoknya, begitulah. Kalian juga mungkin akan terbawa rasa kesal
Alina ketika membaca makian dan keluhannya karena senja sialan yang dikirimkan
Sukab.
Rupa-rupanya dengan cara seperti
itulah dunia mesti berakhir. Senja yang engkau kirimkan telah menimbulkan
bencana tak terbayangkan. Apakah engkau tahu suratmu itu baru sampai sepuluh
tahun kemudian? Ah, engkau tidak akan tahu Sukab, seperti juga engkau tidak
akan pernah tahu apa yang terjadi dengan senja yang kau kirimkan ini. Senja
paling taik kucing dalam hidupku Sukab, senja sialan yang paling tidak mungkin
diharapkan manusia.
Atau ini :
Air laut kulihat makin dekat,
setidaknya setengah jam lagi tempat aku menulis surat ini sudah akan terendam
seluruhnya. Aku akan naik perahu, mendayung sampai teler, makan supermi mentah,
lantas menanti maut. Akan ku kirim kemana surat ini? Barangkali kamu pun sudah
mati Sukab. Semua pengembara di lautan sudah mati. Sedangkan di puncak
tertinggi di dunia ini tinggal aku sendiri, dari hari kehari memandang
senja yang selesai, dimana matahari tidak pernah terbenam lebih dalam lagi.
Semesta dalam amplop itu telah menjadi pemenang dalam benturan dua semesta,
namun semesta
dalam amplop itu cuma sepotong
senja, sehingga dunia memang tidak akan pernah sama lagi.
Waktu baca cerita ini, jangan maksa untuk mikir seperti membaca
Supernova KPBJ yang penuh sains fiction-nya,
kalau tidak ingin pusing sendiri. Atau jangan juga terlalu sentimentil seperti
saat membaca Hujan bulan Juni milik Pak Sapardi Djoko Darmono. Ada sensasi
mirip-mirip sih dengan tulisan Pak Djoko Pinurbo, terutama puisinya dalam buku “Selamat
menunaikan ibadah puisi”. Tapi kan, semua penulis atau sastrawan punya ciri khas
nya sendiri. Jadi tidak semestinya membanding-bandingkan.
Tapi ngomong-ngomong, kalau kalian mau tahu seperti apa senja di dalam
amplop itu, bacalah cerita yang berjudul “Tukang pos dalam amplop”. Si bapak
tukang pos itu, membeberkan seperti apa senja di dalamnya. Dan jangan kaget,
bahwa ia kawin dengan lumba-lumba yang melahirkan spesies baru. Haha. Rumusnya satu
saja : abaikan semua logikamu yang mungkin kau cari-cari kemungkinannya dalam
cerita ini. Cukup duduk santai, sambil menyesap teh sore-mu ditemani sepotong
senja paling tidak masuk akal dari Pak Seno.
Tangerang,
14 Juni 2017
Tangerang,
14 Juni 2017
0 komentar