Surealisme dalam cerita paling tidak masuk akal : Sepotong senja untuk pacarku

by - 07.31.00



Menulis itu bebas. Sebuah kalimat yang paling dekat dengan penulis bernama Seno Gumira Ajidarma (kerap disebut SGA dalam tulisan-tulisan pembacanya). Saya baru tahu bahwa menulis bisa begitu liar untuk sebuah objek : senja. Sebagai mahasiswa-bukan-jurusan-sastra, saya tidak tahu harus mengolongkan kumpulan cerpen ini dalam genre apa. Tapi saya rasa, ia lebih merapat pada surealis daripada realis. Tapi ada juga, yang menyebutnya realisme-magis. Ah, apasih, toh yang saya lakukan hanya membaca, menikmati kata-kata di dalamnya dan berimajinasi sebebas-bebasnya. Sebab, yang ditulis Pak Seno ini, sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang mengerat sebuah senja, yang merupakan bagian dari semesta, untuk masuk ke dalam saku dan dikirim pada perempuan yang dicintainya?

Dalam buku Sepotong senja untuk pacarku yang berisi 16 cerpen, ada sekiranya 3 tokoh penting : Sukab, Alina dan Tukang pos. Si Sukab ini, namanya sering dipakai oleh Pak Seno di tulisan-tulisannya. Sehingga, karakter  Sukab tidak pernah konsisten. Ia bisa menjadi remaja belasan tahun, pemuda tajir atau sekedar tokoh numpang lewat. Yang paling menarik, tentunya, Trilogi Alina. Di sinilah pendekatan sureal sungguh terasa. Waktu membacanya, akhirnya saya masa bodoh dengan kenyataan dan melepas akal sehat.  Untuk sampai ke titik tersebut, saya sudah membayangkan bagaimana senja yang digambarkan oleh Pak Seno dengan detail mulai dari langit keemasan, debur ombak, kepak burung dan matahari setengah terbenam. Sampai akhirnya, Sukab memotongnya pada empat sisi dan memasukkannya ke amplop untuk di kirim kepada Alina.

Surat itu baru sampai 10 tahun kemudian. Sebab, Tukang pos yang jahil tidak hanya mengintip, namun masuk ke dalamnya dan tinggal di sana selama 10 tahun. Coba jelaskan : bagaimana mungkin seseorang masuk ke dalam amplop, yang berisi senja, lengkap dengan daratan pasir dan langit jingganya, lalu keluar 10 tahun kemudian tanpa pernah menua. Rasanya, adegan seperti itu hanya ada di film-film Hollywood saja. Saya jadi penasaran, berapa lapis kehidupan ini ada? apakah kita juga tinggal di dalam sebuah potongan semesta? Ah sudahlah, toh kegilaan ini belum berakhir. Surat balasan Alina, ternyata lebih menggelikan lagi.

Surat itu sampai kepada Alina, dari seorang tukang pos yang wajahnya bahagia. Begitu surat itu terbuka, senja itu luber keluar, sehingga matahari di salamnya beradu dengan matahari yang sebenarnya. Tunggu. Memangnya kita tahu, mana matahari yang sebenarnya? Kata Alina, akibat laut dari sepotong senja itu luber, air bah Nuh terulang kembali. Maka ia mengumpat, menyumpahi Sukab yang menurutnya tidak punya otak itu sebab semua orang mati akibat air menggenangi seluruh bumi. Nah, sampai di sini, bukankah sudah dapat kalian duga seperti apa cerpen yang di tulis Pak Seno?

Terlepas dari imajinasi liar yang ada dalam cerita ini, perasaan Sukab terhadap Alina saya rasa perlu juga ditanggapi. Bagaimana tidak, coba kau baca kalimat terakhir dari Sukab dalam cerpen ini :

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia. 

Atau yang ini :

Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina. Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. 

Yah pokoknya, begitulah. Kalian juga mungkin akan terbawa rasa kesal Alina ketika membaca makian dan keluhannya karena senja sialan yang dikirimkan Sukab.

Rupa-rupanya dengan cara seperti itulah dunia mesti berakhir. Senja yang engkau kirimkan telah menimbulkan bencana tak terbayangkan. Apakah engkau tahu suratmu itu baru sampai sepuluh tahun kemudian? Ah, engkau tidak akan tahu Sukab, seperti juga engkau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi dengan senja yang kau kirimkan ini. Senja paling taik kucing dalam hidupku Sukab, senja sialan yang paling tidak mungkin diharapkan manusia.

Atau ini :

Air laut kulihat makin dekat, setidaknya setengah jam lagi tempat aku menulis surat ini sudah akan terendam seluruhnya. Aku akan naik perahu, mendayung sampai teler, makan supermi mentah, lantas menanti maut. Akan ku kirim kemana surat ini? Barangkali kamu pun sudah mati Sukab. Semua pengembara di lautan sudah mati.  Sedangkan di puncak tertinggi di dunia ini tinggal aku  sendiri, dari hari kehari memandang senja yang selesai, dimana matahari tidak pernah terbenam lebih dalam lagi. Semesta dalam amplop itu telah menjadi pemenang dalam benturan dua semesta, namun semesta
dalam amplop itu cuma sepotong senja, sehingga dunia memang tidak akan pernah sama lagi. 

Waktu baca cerita ini, jangan maksa untuk mikir seperti membaca Supernova KPBJ yang penuh sains fiction-nya, kalau tidak ingin pusing sendiri. Atau jangan juga terlalu sentimentil seperti saat membaca Hujan bulan Juni milik Pak Sapardi Djoko Darmono. Ada sensasi mirip-mirip sih dengan tulisan Pak Djoko Pinurbo, terutama puisinya dalam buku “Selamat menunaikan ibadah puisi”. Tapi kan, semua penulis atau sastrawan punya ciri khas nya sendiri. Jadi tidak semestinya membanding-bandingkan.


Tapi ngomong-ngomong, kalau kalian mau tahu seperti apa senja di dalam amplop itu, bacalah cerita yang berjudul “Tukang pos dalam amplop”. Si bapak tukang pos itu, membeberkan seperti apa senja di dalamnya. Dan jangan kaget, bahwa ia kawin dengan lumba-lumba yang melahirkan spesies baru. Haha. Rumusnya satu saja : abaikan semua logikamu yang mungkin kau cari-cari kemungkinannya dalam cerita ini. Cukup duduk santai, sambil menyesap teh sore-mu ditemani sepotong senja paling tidak masuk akal dari Pak Seno.

Tangerang,
14 Juni 2017

You May Also Like

0 komentar