Sejak pendakian pertama hingga
kesekian, saya selalu meninap di tenda. Nggak pernah tektok seperti teman-teman lainnya yang sudah pro. Dulu juga saya selalu berprinsip ingin menjajal gunung baru kalau ada
plan naik gunung. Tapi seiring waktu, setelah lima faktor atau alasan tadi, saya nggak lagi mikirin gunung mana dan sesulit apa yang akan saya daki. Nggak juga mikirin
seberapa terkenalnya gunung itu. Tapi lebih kepada proses dari naik gunung itu
sendiri, hal-hal apa yang saya dapat, hal-hal apa juga yang bisa saya berikan dan
cerita sebelum menutup pintu tenda. Karena gunung boleh sama, tapi cerita
di setiap pendakiannya selalu baru. Ya, cerita yang selalu baru itulah faktor
keenam saya suka naik gunung baik dengan teman baru atau lama sekalipun.
Akhirnya saya mencoba melakukan
pendakian tektok ke Pangrango. Bener-bener nggak bawa tenda, hanya satu salin,
kopi, roti, kompor dan ponco. Saat itulah saya kembali belajar apa itu
persiapan. Apa itu skill, apa itu estimasi dan kemungkinan terburuk. Semua estimasi
dan rencana saya meleset, dari target 10
jam nyatanya saya baru bisa menyelesaikan pendakian itu dalam waktu 17 jam. Dengan
kondisi hujan di puncak dan kehabisan logistik di kandang badak saat perjalanan
turun. Bener-bener nggak layak ditiru. Satu sisi saya merutuki kecerobohan diri sendiri, tapi satu sisi juga saya anggap ini adalah pelajaran agar saya nggak
salah perhitungan lagi kalau mau mendaki tektok nantinya.
Pelajaran nggak hanya saya temukan di pendakian Pangrango ini, tapi juga di semua pendakian yang saya lakukan sejak awal pertama. Menghitung-hitung kesalahan bisa jadi hal menarik ketika kita sampai dibawah. Dan itu harus kita ingat, agar tidak terulang lagi di pendakian berikutnya.
Pelajaran nggak hanya saya temukan di pendakian Pangrango ini, tapi juga di semua pendakian yang saya lakukan sejak awal pertama. Menghitung-hitung kesalahan bisa jadi hal menarik ketika kita sampai dibawah. Dan itu harus kita ingat, agar tidak terulang lagi di pendakian berikutnya.
Setelah mendaki tektok di
Pangrango, saya menjajal tektok di Merapi. Seperti biasa, start tengah malam. Dan
hasilnya cukup memuaskan, nggak sepayah saat di Pangrango. Yang penting
persiapan jangan sampai kurang, salah atau justru kelewat berlebihan. Untuk urusan
ini jelas saya nggak lepas dari bantuan para master seperti Bang O, Mas Bay,
Bang T, dan lain-lainnya. Bisa juga didapat dari rekan-rekan di komunitas yang
lebih sering ketemu karena para master makin susah kumpul. Hehe.
Menungu pagi di Nglanggeran
Oiya saya hampir lupa, yang
penting banget dan masuk juga dalam jajaran faktor ‘kenapa naik gunung’ adalah
tegur sapa di ketinggian. Ya, yang tadinya nggak kenal jadi kenal. Yang tadinya
temen bisa jadi pacar. Yang tadinya biasa bisa jadi sodara. Tapi jangan lupa,
nggak semuanya berubah jadi positif. Yang tadinya setuju bisa jadi nggak
setuju. Yang tadinya sahabat, bisa jadi bang*at. Kenapa? Karena (saya percaya)
bahwa selama proses mendaki, dalam keadaan lelah fisik, mungkin juga batin
karena puncak nggak kunjung kelihatan, jati diri kita akan terkuak. Setidaknya didepan
teman-teman kita sendiri.
Dulu , saya pernah lebih
memilih mengejar puncak saat temen nggak lagi mampu. Tapi saya sadar bahwa
puncak bukan hal yang penting lagi ketika kita ada di gunung. Dulu, saya pernah jadi
curhatan 2 temen yang saling sakit hati karena salah satunya bilang temennya
itu lemah. Di gunung bukan cuma fisik yang kita jaga, tapi batin juga. Sabar. Musti
banget sabar. Walaupun jengkel juga kalau ada temen yang bisa liat setan tapi
justru berisik kalau setannya disebelah saya. *halah. Ya pokoknya begitu,
teman-teman. Buat saya naik gunung itu lebih dari biar keren, biar keliatan
kuat, biar punya pengalaman.
Naik gunung adalah media saya untuk kembali berinteraksi dengan alam, dengan sesama kita manusia, dengan
semesta. Jangan ngomong begini juga kalau masih buang sampahnya dimana-mana. Selalu
siapin kresek untuk sampah pribadi yang kecil, misalnya bungkus permen. Kalau sampah
kelompok taruh aja di trashbag gantung di keril. Yhaa. Pokoknya kalian yang
lebih expert daripada saya sih pasti
ngerti. Dan kalian di luar sana, pasti punya alasan sendiri kenapa naik gunung.
Kenapa selalu-ingin-naik-gunung. Meski, kadang, apa yang saya jelaskan dalam
post ini nggak bisa begitu saja saya jadikan jawaban untuk setiap pertanyaan
kalian ‘kenapa sih Dit naik gunung’.
Tangerang,
05 Juni 2017
0 komentar