Kenapa sih Dit naik gunung? (2)

by - 23.26.00


Sejak pendakian pertama hingga kesekian, saya selalu meninap di tenda. Nggak pernah tektok seperti teman-teman lainnya yang sudah pro. Dulu juga saya selalu berprinsip ingin menjajal gunung baru kalau ada plan naik gunung. Tapi seiring waktu, setelah lima faktor atau alasan tadi, saya nggak lagi mikirin gunung mana dan sesulit apa yang akan saya daki. Nggak juga mikirin seberapa terkenalnya gunung itu. Tapi lebih kepada proses dari naik gunung itu sendiri, hal-hal apa yang saya dapat, hal-hal apa juga yang bisa saya berikan dan cerita sebelum menutup pintu tenda. Karena gunung boleh sama, tapi cerita di setiap pendakiannya selalu baru. Ya, cerita yang selalu baru itulah faktor keenam saya suka naik gunung baik dengan teman baru atau lama sekalipun.

Akhirnya saya mencoba melakukan pendakian tektok ke Pangrango. Bener-bener nggak bawa tenda, hanya satu salin, kopi, roti, kompor dan ponco. Saat itulah saya kembali belajar apa itu persiapan. Apa itu skill, apa itu estimasi dan kemungkinan terburuk. Semua estimasi dan rencana saya meleset, dari target  10 jam nyatanya saya baru bisa menyelesaikan pendakian itu dalam waktu 17 jam. Dengan kondisi hujan di puncak dan kehabisan logistik di kandang badak saat perjalanan turun. Bener-bener nggak layak ditiru. Satu sisi saya merutuki kecerobohan diri sendiri, tapi satu sisi juga saya anggap ini adalah pelajaran agar saya nggak salah perhitungan lagi kalau mau mendaki tektok nantinya. 

Pelajaran nggak hanya saya temukan di pendakian Pangrango ini, tapi juga di semua pendakian yang saya lakukan sejak awal pertama. Menghitung-hitung kesalahan bisa jadi hal menarik ketika kita sampai dibawah. Dan itu harus kita ingat, agar tidak terulang lagi di pendakian berikutnya.

Setelah mendaki tektok di Pangrango, saya menjajal tektok di Merapi. Seperti biasa, start tengah malam. Dan hasilnya cukup memuaskan, nggak sepayah saat di Pangrango. Yang penting persiapan jangan sampai kurang, salah atau justru kelewat berlebihan. Untuk urusan ini jelas saya nggak lepas dari bantuan para master seperti Bang O, Mas Bay, Bang T, dan lain-lainnya. Bisa juga didapat dari rekan-rekan di komunitas yang lebih sering ketemu karena para master makin susah kumpul. Hehe.

Menungu pagi di Nglanggeran

Oiya saya hampir lupa, yang penting banget dan masuk juga dalam jajaran faktor ‘kenapa naik gunung’ adalah tegur sapa di ketinggian. Ya, yang tadinya nggak kenal jadi kenal. Yang tadinya temen bisa jadi pacar. Yang tadinya biasa bisa jadi sodara. Tapi jangan lupa, nggak semuanya berubah jadi positif. Yang tadinya setuju bisa jadi nggak setuju. Yang tadinya sahabat, bisa jadi bang*at. Kenapa? Karena (saya percaya) bahwa selama proses mendaki, dalam keadaan lelah fisik, mungkin juga batin karena puncak nggak kunjung kelihatan, jati diri kita akan terkuak. Setidaknya didepan teman-teman kita sendiri.

Dulu , saya pernah lebih memilih mengejar puncak saat temen nggak lagi mampu. Tapi saya sadar bahwa puncak bukan hal yang penting lagi ketika kita ada di gunung. Dulu, saya pernah jadi curhatan 2 temen yang saling sakit hati karena salah satunya bilang temennya itu lemah. Di gunung bukan cuma fisik yang kita jaga, tapi batin juga. Sabar. Musti banget sabar. Walaupun jengkel juga kalau ada temen yang bisa liat setan tapi justru berisik kalau setannya disebelah saya. *halah. Ya pokoknya begitu, teman-teman. Buat saya naik gunung itu lebih dari biar keren, biar keliatan kuat, biar punya pengalaman.

sunrise di lumutan Merapi

Naik gunung adalah media saya untuk kembali berinteraksi dengan alam, dengan sesama kita manusia, dengan semesta. Jangan ngomong begini juga kalau masih buang sampahnya dimana-mana. Selalu siapin kresek untuk sampah pribadi yang kecil, misalnya bungkus permen. Kalau sampah kelompok taruh aja di trashbag gantung di keril. Yhaa. Pokoknya kalian yang lebih expert daripada saya sih pasti ngerti. Dan kalian di luar sana, pasti punya alasan sendiri kenapa naik gunung. Kenapa selalu-ingin-naik-gunung. Meski, kadang, apa yang saya jelaskan dalam post ini nggak bisa begitu saja saya jadikan jawaban untuk setiap pertanyaan kalian ‘kenapa sih Dit naik gunung’.

Tangerang,
05 Juni 2017

You May Also Like

0 komentar