Gerimis di Jakarta
Ironi memang terjadi dimana-mana. Dan seperti yang bayak orang bilang bahwa bahagia itu sederhana, saya juga mengalaminya. Namun untuk kali ini, sepertinya lebih tepat dikatakan sebagai perasaan lega. Lega karena banyak kerinduan-kepenatan yang akhirnya dapat dilepaskan. Lepas ke langit Jakarta, menguap bersama udara lembab bercampur asap-asap dan suara klakson riuh rendah. Bagi saya, Jakarta tak pernah kehabisan cerita. Meski pemeran dan pemain di dalamnya tak banyak berubah. Skenario beraneka rupa terjadi setiap hari. Orang-orang sukses, pengemis yang kelaparan, kisah pembunuhan pada tengah malam di bawah kolong jembatan, anak-anak kumal membaca buku di dekat tumpukan sampah, para bos makan malam di restoran mewah dan sederet kisah lainnya.
Saya tak terkecuali. Diantara sibuknya
ibu kota, saya bertemu seseorang yang sekira nyaris tiga tahun saya kenal. Dia adalah
kawan dan abang, serta beberapa peran lain yang dimainkannya dalam sejarah perkenalan
kami hingga detik ini. Dia menyebalkan, sungguh. Dan saya masih bertanya-tanya
mengapa sudi menemui laki-laki yang satu ini meski mendekatkan saya pada
penyakit darah tinggi setiap kali membuat janji. Namun diam-diam, sebenarnya
saya telah mengetahui jawabannya. Sebuah jawaban panjang yang sulit dituangkan
dalam bait-bait kata dan selihai apapun saya menuliskannya.
Sebagian besar pertemuan kami
hanya untuk mengobrol. Mungkin bila di filmkan bakal mirip dengan trilogi
before sunrise, before sunset dan before midnight yang berisi obrolan ngalor-ngidul antara pemuda dan wanita
yang bertemu di sebuah kereta. Akhir
pekan adalah waktu yang pas untuk mewujudkan film lawas itu menjadi nyata.
Hari Sabtu membuat commuter line Tangerang-Jakarta dipenuhi penumpang berbagai usia. Berdiri
sambil melempar pandang keluar jendela dengan telinga tersumpal headset menjadi momen dengan citarasa
tersendiri. Lihat, wajah-wajah lelah dan ceria yang random di dalam gerbong kereta. Lagu yang mengalun ke dalam gendang
telinga saya seolah menjadi soundtrack
untuk sandiwara yang kami perankan didepan satu sama lain.
Sejak dulu, saya tahu bahwa ia
akan terlambat. Dia selalu terlambat. Dan membuat saya menunggu. Dibalik kedua
alis yang mengerut dan wajah yang memberengut, saya menyesali mengapa tak
berbohong saja bahwa telah tiba tigapuluh menit lalu. Lihat ya, akan kulakukan pada pertemuan berikutnya. Biar saja kau
menunggu sampai bosan. Itu dia. Datang dengan wajah tanpa rasa bersalah,
membuat suasana Manggarai yang gerah semakin gerah. Tapi sudahlah, marahpun tak
akan mengembalikan waktu tiga puluh menit menunggu.
Jalanan Jakarta sabtu sore itu
benar-benar keterlaluan, ditambah kecepatan motor yang tak pernah lebih dari
rata-rata membuat perjanalan menuju UNAS (Universitas Nasional) yang berada di
Pasar MInggu itu terasa lama. Belum lagi gerimis yang mulai turun dan entah
untuk alasan apa saya harus menunggu di sebuah mini market tikungan jalan. Namun
lagi-lagi, kami melanjutkan perjalanan tanpa saya mengatakan rasa sebal dan lebih
memilih berkata dalam hati, ya sudahlah.
Hujan turun semakin deras seiring
perjalanan kami menuju daerah Kalibata. Terpaksalah kami menepi untuk berteduh.
Ya, berteduh dimanapun yang paling dekat. Sebuah tempat produksi mebel
memperbolehkan kami menumpang barang sebentar sampai hujan reda. Dan disanalah
kami duduk, berbincang tentang banyak persoalan. Tentang si A dan pekerjaannya,
si B dan hubungan percintaannya, si C yang hilang tanpa kabar, si D E F dan
deretan nama lainnya.
Bukan, kami bukan bergosip. Namun
mengambil makna dari cerita-cerita mereka. Atau hanya sekedar obrolan pembuka? Disela
pembicaraan yang semakin menghangat, beberapa kali saya menengadah ke langit. Mendung
senantiasa menggantung disana, menyisa warna abu karena hari yang menyore dan
asap kendaraan lalu-lalang. Beberapa kali juga kaki ini meringsek masuk,
mengindari kebasahan karena atap asbes yang bocor dan cipratan air hujan di
dekat gerbang. Lalu sembari terus mengobrol, saya merasa heran sendiri. Alih-alih menikmati makanan atau suasana kafe bernuansa tenang, obrolan kami tetap terasa menyenangkan meski dalam situasi yang demikian.
Hujan pun reda. Tinggal gerimis
yang tak bakal terlalu membasahi baju kami bila berjalan dibawahnya. Saya kenal
sweater abu-abu itu. Spontan dipinjamkannya karena saya tak pakai jaket atau
pelindung lainnya. Dibwah gerimis, kamipun melaju ke Kalibata. Di sepanjang
jalanan yang berlubang dan menampung air hujan, warung-warung makan sedang
membersiapkan tenda-tendanya. Meja-meja ditata. Alat panggang dipanaskan. Dan di
seberang sana, taman Makam Pahlawan Kalibata hening dalam aura yang tak dapat
dijelaskan.
Usai perut lapar ini terisi, kami
kembali menyusuri Jakarta. Dan kembali menyusuri daftar pertanyaan yang
dilemparkan pada satu sama lain. Mengomentari jawaban-jawaban yang sulit
dipahami. Menambahi pendapat ini dan itu. Bicara penulis-penulis handal yang
bukunya mendunia, karakter Dee Lestari yang semakin nge-pop dan Pramoedya yang karyanya menjadi
bacaan wajib penggemar sastra. Membicarakan buku kesukaan, membicarakan tulisan-tulisan orang.
Membicarakan si laki-laki ini,
wanita itu. Menerka-nerka harga rumah di Jakarta, menghitung-hitung pendapatan
orang lain dan susunan kredit debit rumah tangga mereka. Menceritakan
pengalaman pribadi baru-baru ini. Menebak-nebak perasaan orang lain yang jatuh
cinta. Menembus Jakarta tengah malam. Melewati anak-anak muda kekinian yang
nongkrong dipinggir jalan. Menikmati obrolan versi kami sendiri, sambil
berharap gerimis berhenti dalam kegiatannya membasahai Jakarta. Sebab bila
tidak, kami benar-benar akan masuk angin. Cukuplah rintik sore tadi menjadi
latar sebuah versi lain dari film jadul
kesukaannya. Malam ini di perjalanan pulang, kami ingin tetap kering sampai
tujuan.
2 komentar
Cieee ci nareeed
BalasHapusapacihhhh
Hapus