Menjajal manisnya Salak
Salak. Gunung yang sering disebut-sebut memiliki track kejam dan kental dengan cerita mistis ini seringkali menjadi
opsi kedua setelah Gede-Pangrango bila ingin mendaki gunung yang tak jauh dari
Jakarta. Agustus tahun lalu (eh sumpah udah setahun lebih?) gue berkesempatan mendaki Salak bareng
temen-temen dari PINUS. Kiww. Kali ini ada Bang Oo juga hlo. Wakaka. Setelah
kemarin pendakian Cikuray gue gagal ikutan, terbalaskan juga sama si Salak pondoh
ini. Oh ya, Bang Ewin juga dibela-belain datang dari Bandung untuk hlo untuk ikutan nanjak bareng.
Kalau biasanya kami sewa angkot dari stasiun Bogor, kali ini kami sewa
pick up, yang membuat kami merasa
lebih ‘lega’ di perjalanan dengan angin cepoi-cepoi. Meskipun sampai di jalur
pendakian Cimelati udah tengah malem, kita tetep langsung naik. Eh nggak
deng, nenda dulu tepat di kawasan masuk hutannya. Disana kami merasa perlu
mendirikan tenda dan makan malam. Nggak pake masak, kebetulan kami menyempatkan
beli nasi bungkus di deket stasiun Bogor. Tapi kalau kopi sama teh ya wajib lah
ya hukumnya..
salam kompak~
ngaso dulu gan
Anyway, pendakian Salak ini
dilakukan tiga hari dua malam (jadi tiga
malam kalau dihitung dari malam pertama nge-camp) karena kita lintas Cimelati- Pasir
Reungit. Mantep. Agak sedih kalau inget h-7 masih jarang lari pagi (jangan
dicontoh, haram hukumnya). Kembali lagi
ke malam pertama kami, hawanya masih anget agak gerah gitu. Mungkin karena gue
dan sita nge-reyen tenda Bang Oo yang
masih kinyis-kinyis haha. Pokoknya
bobo nyenyak sampai paginya gue terpaksa bangun karena mules. Helaaaaww. Mules
masih di start jalur pendakian itu agak menyebalkan, karena gue sering jadi
buang air besar terus kalau di awal pendakian udah setor (apasih Dit, lo gak
penting banget certain ini). Eh ya gak apa-apa, maksudnya gue mau nyaranin
kalian kalau lagi naik gunung sebaiknya bawa obat sakit perut atau diare macem
diapet, neo entrostop atau semacamnya. In case kalau mules tak tertahankan di
sepanjang jalur kalian akan merasa
tertolong.
kepo bener sik lu Bang?
Setelah sarapan dan packing ulang, kami cus memulai pendakian. Gue gak
akan cerita detail untuk estimasi waktu dan pos-posnya, karena juju raja sudah
lupa. Hehe. Intinya jalur agak menyedihkan kalau kedapatan ujan di jalanan.
Thanks God, selama pendakian dari awal sampai turun kami nggak kedapetan ujan
jadi nggak ngenes-ngenes amat. Jalur di
dominasi dengan tanah, terjal dan banyak akar. Enak sih bisa buat pijakan, tapi
hati-hati ya takutnya kedapetan yang nggak kokoh. Pepohonannya cukup rindang,
jadi temen-temen nggak perlu pakai lengan panjang atau manset karena takut
item. Nanti malah lebih takut kegerahan…
Di Pos 4, hari udah agak sore yaa sekitar jam 15.00 gitulah. Kami rehat
agak lama untuk ngopi, sementara team leader yaitu Bang Teguh dan Bang Ewin
jalan duluan ke puncak untuk mencari lapak tenda. Dari intensitas ketemu
pendaki lain yang nggak terlalu banyak, mudah-mudahan masih kebagian lapak
mengingat hari gini peminat naik gunung semakin banyak saja. Disitu, tenaga gue
masih bisa diajak temenan. Makan buah salak di gunung Salak seger juga. Kopi
hitam mengepul seiring udara sore yang mulai semriwing. Kira-kira setelah 40 menit, kami lanjutkan perjalanan.
Di pos 5, team sudah berpencar. Sita, Agung, Imam, Azam, Bang Enung dan Ustad entah sampai dimana. Di pos 6 gue kacau.
Tenaga rasanya udah kekuras habis. Bang Oo dan Bang Nasa masih setia nemenin
gue, sambil ngeledek-ledekin muka gue yang udah gak karuan.
“Dit, muka lu udah bukan pucet kebiru-biruan lagi. Tapi ungu …”
celetuk Bang Oo.
“Dit, mau ditarik pake webbing dari atas?” sindir Bang Nasa.
“Diem lu Bang.” Gue gak peduli lagi sama ocehan mereka, mata cuma
ngeliat tanjakan di depan aja yang gatau ujungnya dimana. Udah hampir Maghrib,
sekitar jam 17.20 an.
“Bang, gue lapeerrr…” akhirnya gue ngaku juga kalau perut ini yang
dari tadi memaksa gue buat save
tenaga.
“Ngomong dongggg.. udah makan dulu dah. Gue juga laper.” saran Bang
Oo.
“Yahhhhh… lu Bang. Ayoklah.” timpal Bang Nasa.
Roti tawar dioles susu kental manis coklat nggak buruk-buruk amat.
Plus tanah yang dikit-dikit nempel. Ah sebodo amat… gue laper.
Setelah lambung yang tadi berontak udah rada tenang, kami bertiga
mulai nanjak lagi. Ternyata eh ternyata, si Bang Agung cuma duapuluh meter di
depan. Doi juga udah gak jelas mukanya. Secara keril doi paling gede gitu hlo.
Akhirnya sambil jalan kayak siput, kami menuju puncak gemilang cahaya. Begitu sampai puncak, 3 (tigaaaa) tenda sudah
berdiri kokoh beserta peralatan makan dan logistik di tengah. Rada-rada gontai
gue segera melepas sepatu dan merasakan ‘kebebasan’ telapak dan jari-jemari
kaki. Biskuit yang udah tersedia rasanya enak juga dicemil bareng teh anget. Oh
ya, gue sampai pucak jam 17.45 gitu. Kebetulan team kami kebagian tempat camp
yang pinggir jurang (atau lembah?). Dan u
know what? tepat dibawah kami adalah tebing tempat dimana pesawat Sukhoi
tahun 2012 silam.
“Dulu, puncak nggak seluas ini. Tapi karena dipake untuk evakuasi dan
naroh jenazah para korban Sukhoi itu, makanya dibabat abis jadi bisa seluas
ini..” cerita Bang Oo. Ziinggg… gue sih gak banyak komentar, karena tau sendiri
lah yaaa gunung ini paling sering dibicarakan perihal mistisnya. Langit pun mulai
gelap dan gue memutuskan segera ganti pakaian.
Kalau nanjak bareng team PINUS, jujur gue merasa kodrat gue sebagai
perempuan tersaingi. Karena apa? MEREKA JAGO MASAK kalo di gunung. Gue? Masak
nasi aja jadi gendar (kata Bang Teguh). Jadi yaaa… gue hanya goreng-goreng
kentang dan sosis. Oh ya, sama bikin bala-bala (bakwan) yey! Akhirnya gue bikin
bakwan di gunung. Tapi ya gitu, taulah.. udah pasti keasinan. Tapi pada doyan
kok. Haha. Yang di wajan belom mateng yang di piring udah bersih.
Jam 21.00, udah pada masuk tenda dengan formasi masing-masing. Kali
ini gue nebeng tenda Bang Ewin dan Ustad. Kita ngobrol ngalor ngidul sambil
nyeruput kopi bebarengan. Wah, ternyata salak yang ‘segini’ punya hawa dingin
yang nggak mau ditawar pake sleepingbag. Semua peralatan perang gue keluarin
mulai kaos kaki, sarung tangan, buff dan jaket. Udah posisi wuenaaak, ada
panggilan menggoda dari Bang Nasa.
“Dit, lo gak mau liat bintang? Cakep nihhh langitnya cerah…”
Mau gak mau kepala gue nongol di pintu tenda , “Lo mau keliling Bang?”
“Iya. Yuk?”
“Ikut !” dan gue pun mengabaikan hawa dingin sehingga sleepingbag gue
campakkan.
Udah kebiasaan pakai celana pendek (re: selutut), yowis lah gue hanya
mengandalkan jaket dan buff aja. Kami berdua jalan-jalan ke tengah puncak,
dimana ada plang ‘Puncak Manik’ disitu. Wiw, rame juga ternyata. Nggak bohong,
langit yang cerah bikin Bimasakti kelihatan. Gue dan Bang Nasa sibuk
menebak-nebak dimana bintang timur, rasi ini dan rasi itu. Akhirnya setelah
hampir setengah jam bolak balik memandangi langit, leher pegel juga. Gue
memutuskan balik ke tenda dan menghabiskan malam dibalik sleepingbag kesayangan
(btw, ini yang jadul, bahannya dakron cuy. Tebel :D) so, good night universe.
yeaayyy !!
“Diitt ! bangun woy. Gak mau liat sunrise lo?” entah suara siapa itu.
Tapi karena gue denger udah berisik di luar, bangunlah gue dengan tergesa.
Takut kecolongan.
“Mana? Kok masih gelap?”
“Bangun aja duluuu. Bentar lagi kok.” Sahut Azam.
“Huwwaaa. Dingin bet!” entah siapa yang teriak.
Kali ini gue nggak perlu susah payah bangunin Sita. Selang beberapa
menit dia bangun karena keracunan yang komentar sunrise di luar tenda.
Singkatnya, sunrise pagi itu sempurna karena rupanya lapak kami punya
spot bagus, yaitu di ujung sehingga tidak terhalang tenda maupun benda-benda
lainnya. Selesai foto-foto dan matahari mulai meninggi, kami sarapan. Seperti
biasa, makanan digelar diatas trashbag yang sudah dilapisi kertas nasi untuk
dimakan beramai-ramai. sekitar jam 09.00 kami sudah mulai bersiap, packing
selesai dalam waktu setengah jam dan langsung menuju jalur pasir reungit.
Rencananya, kami akan camp di dekat jalur air (sudah di kaki gunung).
packing sebelum lanjutt
Disini, team kembali berpencar. Seperti biasa leader ada Bang Ewin dan
Bang Teguh. Team middle ada Bang Nasa, Ustad, Imam dan gue. Sweeper (sebenernya
bukan team sih, tapi ya yang kebetulan di belakang jadi gampangnya gue ssebut
sweeper aja ya) ada Bang Oo, Azam, Bang Enung, Bang Agung dan Sita. Jarak
antara tiga kelompok ini lumayan jauh, sekitar setengah hingga satu jam. Di
pinggiran jalur yang lumayan sepi, team middle menyempatkan untuk mengisi
perut. Kopi, bubur kacang ijo tadi pagi dan berbagai camilan tersedi. Maksudnya
agar ketika para sweeper sampai disini mereka bisa langsung istirahat dan isi
perut.
Sambil dengerin Banda Neira, kita nungguin para sweeper datang. Begitu
mereka sampai, kami angkat kaki menyusul para leader. Dan tadaaaaa… sampailah
kami di kawah ratu. Pas siang bolong, matahari di ubun-ubun. Disana kami semua
berkumpul. Sejujurnya gue rada lupa sih waktu itu muterin kawah apa gimana,
pokoknya ya beginilah sikonnya :
full team :*
Nah setelah dari kawah, kami kembali berpencar seperti awal. Karena
khawatir kondisi tidak memungkinkan camp di kawasan jalur air, Bang Teguh, Bang
Ewin dan Azam berpesan akan menungu di Simpang Bajuri (termpat bertemunya
beberapa jalur pendakian). Nah, di sepanjang perjalanan dari kawah ratu ke
simpang bajuri inilah banyak cerita. Medan yang tetap terjal dengan tanah
lembab bikin susah turun. Tapi nggak cuma turunan, ternyata masih juga ada
beberapa tanjakan-tanjakan kecil. Gue sempat terpeleset di salah satu turunan
yang hanya mengandalkan akar untuk berpegangan. Rada malu sama beberapa
rombongan pendaki lain yang sedang istirahat, karena konyol banget posisi gue
kepleset dan baju jadi penuh tanah basah. Disitu gue , Ustad dan Bang Nasa
taruhan. Kami masing-masing mengisap satu permen.
“Pokoknya sampai permen ini abis, kita pasti udah sampai simpang
bajuri.” Kata Ustad yakin.
“Awas ya kalo enggak.” gue menghela napas.
Satu permen? estimasi gue yaaa setengah jam lah. Tapi ternyata? Tidak.
Sampai itu permen ganti dua kali, kita berempat masih belum bertemu team
leader. Udah nglewatin beberapa kubangan babi, belum lagi gue yang selalu
diikutin tawon (padahal nggak pakai parfum) akhirnya minta time up.
Ancur-ancuran memang, gue memilih untuk selonjoron ups, bukan cuma selonjoran,
tapi tiduran. Karena bukan cuma kaki yang pegel, pundak dan sekujur tubuh udah
mulai ngambek. Sampai jam 16.00, para sweeper belum kelihatan batang hidungnya.
Kami pun lanjut menuju simpang bajuri. Sesampainya disana, para leader udah
asik tiduran di atas hammock. Gue langsung nyerbu dan cari peralatan masak.
Pokoknya gue mau langsung bikin makanan. Bang Teguh dan Azam beranjak ambil
air, sementara gue langsung ngrebus air yang masih ada sambil masang flysheet
untuk bivak sederhana karena langit mendung dan sudah datang titik-titik air.
Selang lima belas menit, Bang Agung datang tergopoh-gopoh.
“Mpok lu tuhhhh..”
“Lah? Ngapa dia?”
“Tadi kakinya keseleo. Air dong air. Teh anget mana?” Bang Agung
nampak panic, maklum doi korlap di pendakian kali ini. Jadi ada apa-apa ya
merasa bertanggung jawab.
Gue yang belum sempet nyeduh teh juga rada bingung, akhirnya air yang
tadinya buat masak mie langsung gue alihin buat nyeduh teh. Setelah siap, Bang
Agung langsung cabut lagi nyusulin yang masih dibelakang backup Sita.
Para lelaki yang barusan balik dari ambil air langsung diriin tenda
karena sudah bisa dipastikan kita gak akan camp di sekitar jalur air. Malam itu
kami akan camp di simpang bajuri.
Sepanjang maghrib gue rada senewen gak tau kenapa, mungkin bawaan
capek haha. Ngerasa sih pada sengaja godain biar gue makin jadi. Kalau yang
tua-tua (eh maap :/) sih lebih pilih bodo amat haha.
hammocknya the best. punya EAS hammock nihh
Malam datang dan kali ini obrolan lebih ramai karena Bang Oo ikut
masak. Gue angkat tangan, karena sore tadi udah bikin mie yang bejibun dan pas
malamnya cuma masak nasi (yang akhirnya jadi gendar). Sementara Sita lebih
banyak berkutat sama sayuran. Badan udah beneran remuk, gue gak mau ambil
resiko dengan begadang. Akhirnya dengan badan penuh tempelan salonpas, gue
tidur dengan formasi gak jelas karena akar pohon pada bejendol dimana-mana.
Ditambah badan ustad yang panjang dari ujung tenda ke ujung pintu , juga Sita
yang segera menyusul di sebelah gue.
Pagi pun menjelang. Nggak ada hawa-hawa dingin karena memang sudah di
bawah. Gue, sita dan Bang Teguh jalan ke sumber air untuk ambil air dan sekedar
bilas-bilas muka. Ternyata dari simpang bajuri ke sungai lumayan jauh (ya gak
banget-banget sih) tapi jalanannya enak karena udah ada batu-batunya gitu. Hari
udah agak siang ketika kami siap untuk melanjutkan perjalanan. Dari simpang
bajuri menuju ke bawah memang banyak air dan sungai-sungai kecil. Adeeemmm
banget rasanya main-main air di aliran sungai yang bening begini. Akhirnya gue
memutuskan lepas sepatu dan berganti sandal karena mau nggak mau harus
melewati beberapa kubangan.
Ke bawah lagi, mulai banyak orang yaitu pengunjung yang mau ke
curug-curug kecil yang ada disana. Tadaa.. sampailah kami di pintu masuk
pendakian salak via Pasir Reungit. Kami bergiliran mandi karena ada fasilitas
toilet disana. Setelah bersih, wangi , kembali ganteng-ganteng dan
catik-cantik, kami segera menuju warung yang ada di dekat area parkir. Teh nya
sih kurang mantep :( tapi pisang gorengnya lumayaaannn karena dari awal gue udah ngidam pisang
goreng hanya saja kesampaiannya bakwan yasudahlah. Setelah itu semua, kami
kembali ke Bogor dan kali ini naik angkot. Semua keril ada di atas mobil hehe. Sampai
stasiun, gue adalah satu-satunya yang menuju ke Tangerang dan itu berartiii
hanya gue yang harus naik kereta jurusan Jatinegara-Bogor. Tapiii karena mereka
semua baikkkk jadi ya semua naik kereta yang jurusan tanah abang meskipun turun
juga di Manggarai hehe.
Yaaah kira-kira begitulah pendakian Salak tahun lalu secara garis
besarnya. Hehe maaf yaaa kalau cerita selalu udah kelewat lama :( sebenernya pas nulis
ini juga gue keingetan utang chapter keberapa gitu lanjutan dari Lawu dan
Pangrango. Dan masih ada utang perjalanan-perjalanan yang lain. Semoga masih
diberi kesempatan untuk share disini yhaaa..
Kamsahamnida,
-ND-
0 komentar