Menjajal manisnya Salak

by - 23.27.00




Salak. Gunung yang sering disebut-sebut memiliki track kejam dan kental dengan cerita mistis ini seringkali menjadi opsi kedua setelah Gede-Pangrango bila ingin mendaki gunung yang tak jauh dari Jakarta. Agustus tahun lalu (eh sumpah udah setahun lebih?)  gue berkesempatan mendaki Salak bareng temen-temen dari PINUS. Kiww. Kali ini ada Bang Oo juga hlo. Wakaka. Setelah kemarin pendakian Cikuray gue gagal ikutan, terbalaskan juga sama si Salak pondoh ini. Oh ya, Bang Ewin juga dibela-belain datang dari Bandung untuk hlo untuk ikutan nanjak bareng.

Kalau biasanya kami sewa angkot dari stasiun Bogor, kali ini kami sewa pick up, yang membuat kami merasa lebih ‘lega’ di perjalanan dengan angin cepoi-cepoi. Meskipun sampai di jalur pendakian Cimelati udah tengah malem, kita tetep langsung naik. Eh nggak deng, nenda dulu tepat di kawasan masuk hutannya. Disana kami merasa perlu mendirikan tenda dan makan malam. Nggak pake masak, kebetulan kami menyempatkan beli nasi bungkus di deket stasiun Bogor. Tapi kalau kopi sama teh ya wajib lah ya hukumnya..

salam kompak~

ngaso dulu gan



Anyway, pendakian Salak ini dilakukan tiga hari dua malam  (jadi tiga malam kalau dihitung dari malam pertama nge-camp) karena kita lintas Cimelati- Pasir Reungit. Mantep. Agak sedih kalau inget h-7 masih jarang lari pagi (jangan dicontoh, haram hukumnya).  Kembali lagi ke malam pertama kami, hawanya masih anget agak gerah gitu. Mungkin karena gue dan sita nge-reyen tenda Bang Oo yang masih kinyis-kinyis haha. Pokoknya bobo nyenyak sampai paginya gue terpaksa bangun karena mules. Helaaaaww. Mules masih di start jalur pendakian itu agak menyebalkan, karena gue sering jadi buang air besar terus kalau di awal pendakian udah setor (apasih Dit, lo gak penting banget certain ini). Eh ya gak apa-apa, maksudnya gue mau nyaranin kalian kalau lagi naik gunung sebaiknya bawa obat sakit perut atau diare macem diapet,  neo entrostop atau semacamnya. In case kalau mules tak tertahankan di sepanjang jalur kalian  akan merasa tertolong.

kepo bener sik lu Bang?

syupuutt

Setelah sarapan dan packing ulang, kami cus memulai pendakian. Gue gak akan cerita detail untuk estimasi waktu dan pos-posnya, karena juju raja sudah lupa. Hehe. Intinya jalur agak menyedihkan kalau kedapatan ujan di jalanan. Thanks God, selama pendakian dari awal sampai turun kami nggak kedapetan ujan jadi nggak ngenes-ngenes amat.  Jalur di dominasi dengan tanah, terjal dan banyak akar. Enak sih bisa buat pijakan, tapi hati-hati ya takutnya kedapetan yang nggak kokoh. Pepohonannya cukup rindang, jadi temen-temen nggak perlu pakai lengan panjang atau manset karena takut item. Nanti malah lebih takut kegerahan…



Di Pos 4, hari udah agak sore yaa sekitar jam 15.00 gitulah. Kami rehat agak lama untuk ngopi, sementara team leader yaitu Bang Teguh dan Bang Ewin jalan duluan ke puncak untuk mencari lapak tenda. Dari intensitas ketemu pendaki lain yang nggak terlalu banyak, mudah-mudahan masih kebagian lapak mengingat hari gini peminat naik gunung semakin banyak saja. Disitu, tenaga gue masih bisa diajak temenan. Makan buah salak di gunung Salak seger juga. Kopi hitam mengepul seiring udara sore yang mulai semriwing. Kira-kira setelah 40 menit, kami lanjutkan perjalanan.

Di pos 5, team sudah berpencar. Sita, Agung, Imam, Azam, Bang Enung dan Ustad entah sampai dimana. Di pos 6 gue kacau. Tenaga rasanya udah kekuras habis. Bang Oo dan Bang Nasa masih setia nemenin gue, sambil ngeledek-ledekin muka gue yang udah gak karuan.
“Dit, muka lu udah bukan pucet kebiru-biruan lagi. Tapi ungu …” celetuk Bang Oo.
“Dit, mau ditarik pake webbing dari atas?” sindir Bang Nasa.
“Diem lu Bang.” Gue gak peduli lagi sama ocehan mereka, mata cuma ngeliat tanjakan di depan aja yang gatau ujungnya dimana. Udah hampir Maghrib, sekitar jam 17.20 an.
“Bang, gue lapeerrr…” akhirnya gue ngaku juga kalau perut ini yang dari tadi memaksa gue buat save tenaga.
“Ngomong dongggg.. udah makan dulu dah. Gue juga laper.” saran Bang Oo.
“Yahhhhh… lu Bang. Ayoklah.” timpal Bang Nasa.
Roti tawar dioles susu kental manis coklat nggak buruk-buruk amat. Plus tanah yang dikit-dikit nempel. Ah sebodo amat… gue laper.
Setelah lambung yang tadi berontak udah rada tenang, kami bertiga mulai nanjak lagi. Ternyata eh ternyata, si Bang Agung cuma duapuluh meter di depan. Doi juga udah gak jelas mukanya. Secara keril doi paling gede gitu hlo. Akhirnya sambil jalan kayak siput, kami menuju puncak gemilang cahaya.  Begitu sampai puncak, 3 (tigaaaa) tenda sudah berdiri kokoh beserta peralatan makan dan logistik di tengah. Rada-rada gontai gue segera melepas sepatu dan merasakan ‘kebebasan’ telapak dan jari-jemari kaki. Biskuit yang udah tersedia rasanya enak juga dicemil bareng teh anget. Oh ya, gue sampai pucak jam 17.45 gitu. Kebetulan team kami kebagian tempat camp yang pinggir jurang (atau lembah?). Dan u know what? tepat dibawah kami adalah tebing tempat dimana pesawat Sukhoi tahun 2012 silam.
“Dulu, puncak nggak seluas ini. Tapi karena dipake untuk evakuasi dan naroh jenazah para korban Sukhoi itu, makanya dibabat abis jadi bisa seluas ini..” cerita Bang Oo. Ziinggg… gue sih gak banyak komentar, karena tau sendiri lah yaaa gunung ini paling sering dibicarakan perihal mistisnya. Langit pun mulai gelap dan gue memutuskan segera ganti pakaian.

Kalau nanjak bareng team PINUS, jujur gue merasa kodrat gue sebagai perempuan tersaingi. Karena apa? MEREKA JAGO MASAK kalo di gunung. Gue? Masak nasi aja jadi gendar (kata Bang Teguh). Jadi yaaa… gue hanya goreng-goreng kentang dan sosis. Oh ya, sama bikin bala-bala (bakwan) yey! Akhirnya gue bikin bakwan di gunung. Tapi ya gitu, taulah.. udah pasti keasinan. Tapi pada doyan kok. Haha. Yang di wajan belom mateng yang di piring udah bersih.

masak yang bener Sit :/

Jam 21.00, udah pada masuk tenda dengan formasi masing-masing. Kali ini gue nebeng tenda Bang Ewin dan Ustad. Kita ngobrol ngalor ngidul sambil nyeruput kopi bebarengan. Wah, ternyata salak yang ‘segini’ punya hawa dingin yang nggak mau ditawar pake sleepingbag. Semua peralatan perang gue keluarin mulai kaos kaki, sarung tangan, buff dan jaket. Udah posisi wuenaaak, ada panggilan menggoda dari Bang Nasa.
“Dit, lo gak mau liat bintang? Cakep nihhh langitnya cerah…”
Mau gak mau kepala gue nongol di pintu tenda , “Lo mau keliling Bang?”
“Iya. Yuk?”
“Ikut !” dan gue pun mengabaikan hawa dingin sehingga sleepingbag gue campakkan.
Udah kebiasaan pakai celana pendek (re: selutut), yowis lah gue hanya mengandalkan jaket dan buff aja. Kami berdua jalan-jalan ke tengah puncak, dimana ada plang ‘Puncak Manik’ disitu. Wiw, rame juga ternyata. Nggak bohong, langit yang cerah bikin Bimasakti kelihatan. Gue dan Bang Nasa sibuk menebak-nebak dimana bintang timur, rasi ini dan rasi itu. Akhirnya setelah hampir setengah jam bolak balik memandangi langit, leher pegel juga. Gue memutuskan balik ke tenda dan menghabiskan malam dibalik sleepingbag kesayangan (btw, ini yang jadul, bahannya dakron cuy. Tebel :D) so, good night universe.

yeaayyy !!



“Diitt ! bangun woy. Gak mau liat sunrise lo?” entah suara siapa itu. Tapi karena gue denger udah berisik di luar, bangunlah gue dengan tergesa. Takut kecolongan.
“Mana? Kok masih gelap?”
“Bangun aja duluuu. Bentar lagi kok.” Sahut Azam.
“Huwwaaa. Dingin bet!” entah siapa yang teriak.
Kali ini gue nggak perlu susah payah bangunin Sita. Selang beberapa menit dia bangun karena keracunan yang komentar sunrise di luar tenda.
Singkatnya, sunrise pagi itu sempurna karena rupanya lapak kami punya spot bagus, yaitu di ujung sehingga tidak terhalang tenda maupun benda-benda lainnya. Selesai foto-foto dan matahari mulai meninggi, kami sarapan. Seperti biasa, makanan digelar diatas trashbag yang sudah dilapisi kertas nasi untuk dimakan beramai-ramai. sekitar jam 09.00 kami sudah mulai bersiap, packing selesai dalam waktu setengah jam dan langsung menuju jalur pasir reungit. Rencananya, kami akan camp di dekat jalur air (sudah di kaki gunung).


packing sebelum lanjutt

Disini, team kembali berpencar. Seperti biasa leader ada Bang Ewin dan Bang Teguh. Team middle ada Bang Nasa, Ustad, Imam dan gue. Sweeper (sebenernya bukan team sih, tapi ya yang kebetulan di belakang jadi gampangnya gue ssebut sweeper aja ya) ada Bang Oo, Azam, Bang Enung, Bang Agung dan Sita. Jarak antara tiga kelompok ini lumayan jauh, sekitar setengah hingga satu jam. Di pinggiran jalur yang lumayan sepi, team middle menyempatkan untuk mengisi perut. Kopi, bubur kacang ijo tadi pagi dan berbagai camilan tersedi. Maksudnya agar ketika para sweeper sampai disini mereka bisa langsung istirahat dan isi perut.



tiati jangan nyampah :(

Sambil dengerin Banda Neira, kita nungguin para sweeper datang. Begitu mereka sampai, kami angkat kaki menyusul para leader. Dan tadaaaaa… sampailah kami di kawah ratu. Pas siang bolong, matahari di ubun-ubun. Disana kami semua berkumpul. Sejujurnya gue rada lupa sih waktu itu muterin kawah apa gimana, pokoknya ya beginilah sikonnya :




full team :*



Nah setelah dari kawah, kami kembali berpencar seperti awal. Karena khawatir kondisi tidak memungkinkan camp di kawasan jalur air, Bang Teguh, Bang Ewin dan Azam berpesan akan menungu di Simpang Bajuri (termpat bertemunya beberapa jalur pendakian). Nah, di sepanjang perjalanan dari kawah ratu ke simpang bajuri inilah banyak cerita. Medan yang tetap terjal dengan tanah lembab bikin susah turun. Tapi nggak cuma turunan, ternyata masih juga ada beberapa tanjakan-tanjakan kecil. Gue sempat terpeleset di salah satu turunan yang hanya mengandalkan akar untuk berpegangan. Rada malu sama beberapa rombongan pendaki lain yang sedang istirahat, karena konyol banget posisi gue kepleset dan baju jadi penuh tanah basah. Disitu gue , Ustad dan Bang Nasa taruhan. Kami masing-masing mengisap satu permen.
“Pokoknya sampai permen ini abis, kita pasti udah sampai simpang bajuri.” Kata Ustad yakin.
“Awas ya kalo enggak.” gue menghela napas.
Satu permen? estimasi gue yaaa setengah jam lah. Tapi ternyata? Tidak. Sampai itu permen ganti dua kali, kita berempat masih belum bertemu team leader. Udah nglewatin beberapa kubangan babi, belum lagi gue yang selalu diikutin tawon (padahal nggak pakai parfum) akhirnya minta time up. Ancur-ancuran memang, gue memilih untuk selonjoron ups, bukan cuma selonjoran, tapi tiduran. Karena bukan cuma kaki yang pegel, pundak dan sekujur tubuh udah mulai ngambek. Sampai jam 16.00, para sweeper belum kelihatan batang hidungnya. Kami pun lanjut menuju simpang bajuri. Sesampainya disana, para leader udah asik tiduran di atas hammock. Gue langsung nyerbu dan cari peralatan masak. Pokoknya gue mau langsung bikin makanan. Bang Teguh dan Azam beranjak ambil air, sementara gue langsung ngrebus air yang masih ada sambil masang flysheet untuk bivak sederhana karena langit mendung dan sudah datang titik-titik air.

kelaperan semua . hiks

Selang lima belas menit, Bang Agung datang tergopoh-gopoh.
“Mpok lu tuhhhh..”
“Lah? Ngapa dia?”
“Tadi kakinya keseleo. Air dong air. Teh anget mana?” Bang Agung nampak panic, maklum doi korlap di pendakian kali ini. Jadi ada apa-apa ya merasa bertanggung jawab.
Gue yang belum sempet nyeduh teh juga rada bingung, akhirnya air yang tadinya buat masak mie langsung gue alihin buat nyeduh teh. Setelah siap, Bang Agung langsung cabut lagi nyusulin yang masih dibelakang backup Sita.
Para lelaki yang barusan balik dari ambil air langsung diriin tenda karena sudah bisa dipastikan kita gak akan camp di sekitar jalur air. Malam itu kami akan camp di simpang bajuri.
Sepanjang maghrib gue rada senewen gak tau kenapa, mungkin bawaan capek haha. Ngerasa sih pada sengaja godain biar gue makin jadi. Kalau yang tua-tua (eh maap :/) sih lebih pilih bodo amat haha.

hammocknya the best. punya EAS hammock nihh



Malam datang dan kali ini obrolan lebih ramai karena Bang Oo ikut masak. Gue angkat tangan, karena sore tadi udah bikin mie yang bejibun dan pas malamnya cuma masak nasi (yang akhirnya jadi gendar). Sementara Sita lebih banyak berkutat sama sayuran. Badan udah beneran remuk, gue gak mau ambil resiko dengan begadang. Akhirnya dengan badan penuh tempelan salonpas, gue tidur dengan formasi gak jelas karena akar pohon pada bejendol dimana-mana. Ditambah badan ustad yang panjang dari ujung tenda ke ujung pintu , juga Sita yang segera menyusul di sebelah gue.

Pagi pun menjelang. Nggak ada hawa-hawa dingin karena memang sudah di bawah. Gue, sita dan Bang Teguh jalan ke sumber air untuk ambil air dan sekedar bilas-bilas muka. Ternyata dari simpang bajuri ke sungai lumayan jauh (ya gak banget-banget sih) tapi jalanannya enak karena udah ada batu-batunya gitu. Hari udah agak siang ketika kami siap untuk melanjutkan perjalanan. Dari simpang bajuri menuju ke bawah memang banyak air dan sungai-sungai kecil. Adeeemmm banget rasanya main-main air di aliran sungai yang bening begini. Akhirnya gue memutuskan lepas sepatu dan berganti sandal karena mau nggak mau harus melewati beberapa kubangan.



Ke bawah lagi, mulai banyak orang yaitu pengunjung yang mau ke curug-curug kecil yang ada disana. Tadaa.. sampailah kami di pintu masuk pendakian salak via Pasir Reungit. Kami bergiliran mandi karena ada fasilitas toilet disana. Setelah bersih, wangi , kembali ganteng-ganteng dan catik-cantik, kami segera menuju warung yang ada di dekat area parkir. Teh nya sih kurang mantep :(  tapi pisang gorengnya lumayaaannn karena dari awal gue udah ngidam pisang goreng hanya saja kesampaiannya bakwan yasudahlah. Setelah itu semua, kami kembali ke Bogor dan kali ini naik angkot. Semua keril ada di atas mobil hehe. Sampai stasiun, gue adalah satu-satunya yang menuju ke Tangerang dan itu berartiii hanya gue yang harus naik kereta jurusan Jatinegara-Bogor. Tapiii karena mereka semua baikkkk jadi ya semua naik kereta yang jurusan tanah abang meskipun turun juga di Manggarai hehe.

Yaaah kira-kira begitulah pendakian Salak tahun lalu secara garis besarnya. Hehe maaf yaaa kalau cerita selalu udah kelewat lama :( sebenernya pas nulis ini juga gue keingetan utang chapter keberapa gitu lanjutan dari Lawu dan Pangrango. Dan masih ada utang perjalanan-perjalanan yang lain. Semoga masih diberi kesempatan untuk share disini yhaaa..

Kamsahamnida,
-ND-

You May Also Like

0 komentar