17 Jam di tubuh Pangrango (chapter 2)
Edelweis di Lembah Mandalawangi
Jalur menuju puncak Pangrango cukup banyak percabangan, jadi mohon
perhatikan string line yang dipasang
di sepanjang jalur. Sepanjang jalan saya banyak berhenti untuk mengatur napas, karena sungguhlah
ini cukup menguras tenaga. Bagi saya, ini adalah ‘Salak KW 2’ sedangkan bagi
Eki ini adalah ‘anaknya Cikuray’. Seiring tenaga yang mulai menipis, kami
berjalan lambat. Beberapa kali kami bertemu pendaki yang turun. Setiap ditanya,
mereka selalu bilang masih jauh. Yasudah, lagipula tidak mungkin jika kami
turun sekarang. Selain tanggung, kemungkinan bertemu pendaki lain di jalur
summit lebih kecil ketimbang dapat bertemu pendaki di Mandalawangi.
Eki berjalan cukup jauh di depan saya, senantiasa memberi kabar akan
jalur yang sepertinya mendekati puncak diselingi teriakan semangat. Akhirnya
sekira pukul 15.00, kami sampai di puncak. Sepi. Puncak Pangrango ditandai dengan
tugu berwarna biru (terakhir saya lihat di postingan orang sempat di cat berwarna
merah dan entahlah seakarang apa rupanya), sebuah gubuk tua dan sebuah plakat besi bertuliskan Puncak Pangrango.
Memang tak sebagus Gede yang puncaknya berada di bibir kawah dan lebih terbuka.
Puncak Pangrango sempit, tertutup pepohonan dan … ya, sepi. Jadi tidak ada
alasan lain untuk tidak mampir ke Mandalawangi.
Ternyata untuk mencapai Mandalawangi dari puncak, memang perlu sedikit
turun menyusuri stringline. Hanya
sekitar dua menit, kami sudah sampai di lembah Mandalawangi. Ya, lembah yang digadang-gadang
menjadi kesayangan Soe Hok Gie. Nama yang dikenal nyaris seluruh pendaki baik
junior hingga senior. Konon, abu Soe Hok Gie ditebar di pelataran Mandalawangi.
Lembah yang juga dijuluki sebagai Lembah Kasih ini jauh lebih sepi dibandingkan
Surya Kencana milik Gede. Selain memang tidak seluas Surya Kencana, Pangrango
memang lebih jarang dikunjungi oleh para pendaki.
Kami memilih duduk di dekat sebuah pohon edelweiss yang tengah
berbunga. Saat itu hanya ada satu tenda dengan sekitar 3-5 orang. Tak lama,
sampailah serombongan keluarga beserta porternya. Saat keluarga sedang asik
memotret, si porter bergabung bersama kami.
“Bang ngopi bang,” tawar Eki.
“Iya makasih, gabung ya.” jawabnya seraya duduk di samping Eki.
“Dit, seduh Dit.”
“Iyaak.” saya menuang air panas ke sebuah gelas plastik yang berisi
kopi bubuk.
“Darimana bang?” tanya Eki pada si porter.
“Depok … tuh nganter sekeluarga. Eh tadi ketmu temen gue nggak di
bawah? Ada dua tuh.”
“Hmmm yang bawa keril gede? Tadi istirahat di bawah kayaknya bang.”
“Waduh… capek tuh mereka. Saya sama sih, gimana enggak, liat aja tuh
keril isinya tenda dua sama perlengkapan lain. Tapi logistik mah ada di mereka
semua..”
Suara-suara petir mulai terdengar siring mendung yang semakin
menggelapkan sore itu. Dan tak lama …. Breesss.
Hujan pun datang. Kami semua tergopoh menuju pepohonan edelweiss yang lebih
tinggi, memasang flysheet dan mengamankan barang-barang. Kompor tetap
dinyalakan untuk meminmalisir hawa dingin.
“Udah lo sama gue aja, nginep, ngapain langsung turun, capek hlo.. gue
ada tenda, sleeping bag, hammock.. logistik juga banyak. Udah gak usah turun
sekarang. Besok pagi aja …” tawar dan rayu Bang Tian (si porter tadi) dengan
tulus.
“Gue sih terserah gimana Dita aja ..” Eki melirik ke arah saya.
Setelah berfikir beberapa menit, akhirnya saya bilang “Yaudah.”
Namun diam-diam, sebenarnya saya dan Eki memiliki fikiran yang sama.
Kami tahu mereka hanya bawa dua tenda dan meskipun ada hammock, jelas tak
membantu apapun jika huja turun. Akhirnya terjadilah kesepakatan ini ..
“Dit, kalo jam enam ujannya brenti, lo mau turun nggak?”
“Mau lah Ki.”
“Yaudah gitu ya?”
“Tapi ngga usah nunggu jam enam lah .. ini ujannya udah lumayan reda
kok. Sekarang jam empat lewat dua puluh. Mudah-mudahan jam lima kurang udah berhenti.”
“Yaudah pokoknya maksimal jam enam lewat lah yaa..”
“Iya.”
Syukurlah, sebelum jam 18.00 hujan mulai reda. Kami pun segera
berpamitan pada Bang Tian dan keluarga yang dipandunya. Dengan tetap
menggunakan mantel kami berdua mulai turun. Stringline
yang dipasang sepanjang jalur sangat membantu karena memantulkan cahaya dari
senter-senter kami. Pukul 19.30 diiringi gerimis kecil kami sampai di Kandang
Badak. Disana sudah padat dengan tenda beserta aroma masakan makan malam. Kami
berhenti sebentar untuk mengganjal perut dan mengistirahatkan kaki sembari
bercengkerama dengan para pendaki lainnya yang tengah berkumpul di luar tenda.
Empat puluh menit berlalu, pukul 20.10 kami melanjutkan perjalanan.
Perlahan namun pasti, kami berjalan dengan kecepatan normal. Hingga di Kandang
Batu, kami bertemu rombongan pendaki dari Depok sejumlah lima orang. Setelah
mengobrol sebentar, kami memutuskan untuk turun bersama-sama. Dengan tetap
berada pada jarak yang dekat, kami melewati jalur air panas. Dari ketiga
pendakian Gede-Pangrango, baru sekali ini saya melewati jalur air panas di
malam hari. Harus ekstra hati-hati dan syukurlah gerimis tidak berangsur deras
saat itu. Kami terus melanjutkan perjalanan tanpa berhenti meski hujan akhirnya
semakin deras dan kami bertujuh harus menggunakan mantel beserta senter
masing-masing. Jalur semakin becek dan air mengalir dibawah kaki kami, namun
karena kami menemui banyak pendaki yang menanjak jalur Cibodas tak terasa sepi
malam itu.
Sampailah kami di Pos Batu Kukus 1. Ketika itu sekira pukul 22.30.
Lambat memang, karena hujan terus mengguyur memaksa kami untuk berjalan ekstra
hati-hati. Di Batu Kukus 1 kami memilih untuk beristirahat sembari menunggu
hujan reda. Saya bahkan sempat tertidur puals disana. baru ketika waktu
menunjukkan pukul 23.30, rekan-rekan dari Depok membangunkan saya dan Eki untuk
melanjutkan perjalanan. Hujan telah mereda dan perjalanan kami cukup lancar
hingga pos pintu masuk Cibodas. Syukurlah.
Di pos masuk kami kembali beristirahat sambil bercengkrama. Sudah
lewat tengah malam tentunya. Perut yang sedari tadi terabaikan mulai berontak.
Akhirnya kami berpisah dengan rombongan Depok dan kembali ke Mang Idi. Mie
rebus porsi double ludes seketika.
Biasanya saya langsung mandi begitu menyelesaikan pendakian. Namun malam itu,
cukup bilas secukupnya dan membersihkan bagian yang terkena lumpur. Badan sudah
terlalu letih dan hawa semakin dingin. Kami ahrus tidur karena besok berencana
berangkat pagi untuk kembali ke Jakarta.
Paginya, saya bagun lebih awal ketimbang Eki. Karena itu hari Minggu,
Cibodas tampak ramai. ada pengunjung yang ingin ke curug, pendaki gunung atau
yang hanya sekedar mencari hawa dingin pegunungan. Sembari menyerupu teh
hangat, saya mengobrol dengan beberapa orang yang akan mendaki. Selang tiga
puluh menit Eki menyusul. Hmmm, sarapan ditengah hawa dingin, udara sejuk dan
ramah tamah sesama pendaki memang selalu menyenangkan. Saya akhiri liburan
singkat ini bersama dengan habisnya menu sarapan pagi itu. Ya, Gede-Pangrango
akan selalu menjadi opsi bila Jakarta terlalu sumpek, dan objek wisata lain dirasa terlalu jauh. Sampai jumpa
lagi Mandalawangi …
0 komentar