17 jam di tubuh Pangrango (chapter 1)

by - 07.33.00

 sore di Lembah Mandalawangi

Terakhir saya naik gunung sebelum pendakian Pangrango ini adalah Agustus 2015 lalu (ya, cukup lama juga) yaitu ke gunung salak bersama kawan-kawan Pinus. Pada akhir April 2016 lalu, saya sudah tidak tahan lagi ingin kembali menapaki dataran ribuan meter di atas permukaan laut. Namun karena waktu yang terbatas, akhirnya saya merelakan diri dan hati untuk kembali menyambangi TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango). Kali ini partner nanjak saya adalah Eki. Kurang lebih seminggu sebelum hari-H, kami sepakat untuk mendaki ke Pangrango asal pendakian ini dilakukan secara ‘tektok’ karena di hari Minggu Eki harus tiba di Jakarta untuk interview kerja.

Untuk kalian yang kerap naik gunung pasti sudah tidak asing dengan istilah yang satu ini. Namun bagi yang belum tahu, yang dimaksud tektok adalah naik gunung tanpa camp, alias mendaki sampai puncak (ataupun tidak sampai puncak) dan langsung turun lagi. Sejujurnya selama ini saya selalu naik gunung dengan cara normal, bahkan yang terakhir itu dilakukan selama 3 hari 2 malam. Tapi toh saya setuju dengan ide Eki. Meskipun kami memilih untuk tektok, Eki tetap sedia flysheet, kompor, nesting dan baju hangat. Saya pun membawa ponco (mantel plastik) dua buah dan logistik secukupnya, yaitu roti sobek dan kopi. Dari awal kami sudah sepakat bahwa bila cuaca tidak memungkinkan, sampai di pos berapapun kami siap untuk kembali turun. Intinya tidak ingin memaksakan.

Jumat 29 April, sepulang kerja saya langsung pulang untuk packing. Ya, namanya juga dadakan jadi packing pun di hari-H. Saya membawa daypack 20liter yang memang tidak muat terlalu banyak barang. Karena kebiasaan, saya juga membawa mini bag untuk menyimpan barang penting sebagaimana biasanya jika naik gunung. Jam 20.00 WIB saya menuju stasiun Tangerang untuk ke Bekasi, karena Eki menunggu di sana. perjalanan dengan krl itu memakan waktu sekitar dua setengah jam hingga akhirnya saya bertemu dengan Eki untuk pertama kali. Hlo, kok pertama? Iya nanti ceritanya di post terpisah ya hehe. Begitu ketemu, kami langsung tancap gas ke Cibodas, kira-kira perjalanan dimulai pukul 23.00 WIB.

Mandalawangi yang sepi

Cuaca memang sedikit mendung, kami berhenti sebentar di puncak pass untuk ngopi. Eki sudah gelisah karena mendung tak juga pergi, malah membawa serta gerimisnya turun. Tak lama kami kembali melanjutkan perjalanan ke Cibodas. Sesampainya disana, kami menuju warung Mang Idi untuk segera beristirahat. Waktu itu kira-kira pukul 02.00 dini hari. Karena ruangan yang disediakan untuk beristirahat sudah dipastikan ramai, kami hanya nyempil di bawah tangga. Baru dua jam terlelap, saya sudah gelisah karena udara cukup dingin. Alhasil sebelum alarm berbunyi saya sudah melek duluan. Baru ketika jam 05.30 saya bisa kembali tertidur dan dibangunkan Eki jam 06.30  untuk bersiap-siap.

Cuaca sedikit mendung membuat kami sedikit pesimis bahkan untuk sekedar sampai di kandang badak. Setelah sarapan roti, kami menuju jalur pendakian Cibodas.
“Dit, target tiga jam ya sampe kandang badak. Hehe …”  
“Yaa… semoga. Gue mah apa atuh, lelet.”
“Haha… santai kok dit. Liat aja nanti sikonnya.”
Kami memulai pendakian jam 07.30 dengan keadaan cukup ramai. Namun disepanjang jalur hingga Pos Rawa Panyancangan nyatanya kami tidak terlalu banyak bertemu dengan pendaki lain. Disitu saya sudah engap dan Eki juga mulai menawarkan “Mau lenggang nggak Dit?”
Tentu saja tidak. Antara masih merasa mampu dan gengsi, saya menolak tawaran Eki.
“Nggak, gue masih bisa Ki. Enak aja lo … hehehe…”
Akhirnya setelah berhenti lima belas menit kami melanjutkan perjalanan. Oh ya, lama perjalanan dari pos hingga Rawa Panyancangan adalah 45menit. Yaaaa lumayan, biasanya jika membawa keril saya menempuhnya selama satu jam lima belas menit.

 Jalur Cibodas sedang banjir waktu itu, karena kemarin Gede Pangrango diguyur hujan. Walhasil, ada beberapa tanjakan yang kami harus berbecek-becek ria. Belum sampai air panas sepatu sudah direlakan basah. Rawa Denok 1, Rawa Denok 2 dan Batu Kukus 1 tidak kami singgahi. Eki senantiasa bawel jika langit kembali mendung. Saya hanya harap-harap cemas, maklum belum pernah tektok.
Sampailah kami di Batu Kukus 2 dan saya meminta Eki untuk berhenti. Kira-kira waktu itu jam 10.10. Eki merokok sebatang sedang saya hanya duduk menyender sembari mengumpulkan tenaga. Tidak ingin berhenti terlalu lama, kami melanjutkan pendakian ke Air Panas. Disana, kami akan mengganjal perut untuk persiapan summit.

Kami sampai Air Panas sekira pukul 11.00 dan disana mulai terlihat banyak pendaki lain yang sedang beristirahat. Disana pula, saya kembali menemukan tegur sapa di ketinggian ribuan mdpl.
“Dari mana mas?” tanya seseorang dari tiga laki-laki di depan kami berdua.
“Bekasi mas. Kalo dia mah Tangerang.”
“Wah, lumayan. Hehe. Ini tektok apa gimana?”
“Iya mas, ya Insyaallah sampe atas. Hehe. Target sih jam satu. Ini mas nya tekok juga?” Tanya Eki, karena melihat mereka bertiga juga tidak membawa carrier.
“Iya mas, hehe.. Gede sih. Kalo mas nya mau ke Gede juga?”
“Enggak mas, mau nyoba Pangrango.”
Selang beberapa menit, ada beberapa pendaki yang turun dan mampir ke pos Air Panas juga.
“Turun bang? Di atas hujan nggak?” tanya Eki pada salah satu yang duluan duduk di depan kami.
“Enggak sih bang, tapi ya jaga-jaga aja. Tektok nih?” tanya balik, karena tidak melihat kami membawa carrier.
“Iya, hehe.”
“Bawa jas ujan nggak? Nih pake punya gue. Bawa aja bang..”
“Udah bawa kok bang. Lo bawa kan Dita?” Eki menoleh kepada saya, memastikan.
“Bawa kok, dua.” Saya mengangguk.
“Bener? Nggak apa-apa kalo mau pake mah.. apa mau bawa tenda?” Tawar abang yang lainnya.
“Makasih bang, nanti kalau hujan langsung turun kok..”
“Emang target jam berapa sampe puncak?”
“Jam satu bang.”
“Wah … nguber itu mah ya …”
“Yaa.. iya. Saya sih tergantung yang cewe aja .” Eki kembali menoleh ke saya.
“Heem,” gumam saya pelan, bingung mau berkomentar apa.
“Yaudah lanjut yok Dit,” ajak Ekii sembari bersiap-siap. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan.

Akhirnyaaaa… satu goal di siang ini yaitu Kandang Badak ada di depan mata. Kami sampai di pertigaan pemisah Gede dan Pangrango itu sekira pukul 12.00 WIB. Saya mencari spot untuk rehat sembari Eki mengisi air. Kami segera memasak air untuk membuat kopi. Yang saya lihat, Kandang Badak sedikit lebih rapi dan bersih dibanding tahun lalu saat saya terakhir kali kesini. Atau mungkin karena masih siang dan belum banyak pendaki yang tiba? Lagit kembali cerah meskipun Pangrango tertutup kabut lebal. Sambil harap-harap cemas, kami beristirahat selama tiga puluh menit. Setelah dirasa cukup, kami kembali melangkah dan mengambil jalur ke kanan dimana Pangrango berada.

Antara penasaran dan khawatir akan hujan, karena yang saya lihat jalur Pangrango sangat berbeda dengan Gede. Jalurnya didominasi tanah, banyak pohon tumbang yang malang-melintang dan sangat lembab. Sepi, kami tak menemui satupun pendaki setelah berjalan selama lima belas menit. Tidak sempat untuk mengambil foto karena langit yang menggelap karena mendung dirasa mengkhawatirkan. Jadilah saya hanya menahan-nahan keinginan untuk mengabadikan momen dan pemandangan. Akhirnyapun saya musti puas dengan menikmati pemandangan ini : jalur sepi, diselingi kabut tipis, pepohonan penuh lumut tebal, beberapa jalanan basah dan suara serangga-serangga gunung.

Satu setengah jam berjalan barulah kami bertemu dengan beberapa orang yang turun dari puncak. Sepertinya sedang ada event lari, karena mereka hanya membawa air minum dan turun dengan cepat serta menggunakan baju yang seragam. Setelah itu, kami juga bertemu dengan salah satu teman Eki. Memang sejak dari pos satu tadi hingga nyaris sampai puncak kami bertemu dengan beberapa teman dari partner saya ini. Dari informasi teman Eki, puncak sekira dua jam lagi. Antara percaya dan tidak percaya, saya memilih untuk percaya karena jalur semakin menanjak dengan dominasi akar dan tanah yang licin. 

-bersambung-


Salam,
-ND-

You May Also Like

1 komentar