17 jam di tubuh Pangrango (chapter 1)
sore di Lembah Mandalawangi
Terakhir saya naik gunung sebelum pendakian Pangrango ini adalah Agustus 2015 lalu (ya, cukup lama juga) yaitu ke gunung salak bersama kawan-kawan Pinus. Pada akhir April 2016 lalu, saya sudah tidak tahan lagi ingin kembali menapaki dataran ribuan meter di atas permukaan laut. Namun karena waktu yang terbatas, akhirnya saya merelakan diri dan hati untuk kembali menyambangi TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango). Kali ini partner nanjak saya adalah Eki. Kurang lebih seminggu sebelum hari-H, kami sepakat untuk mendaki ke Pangrango asal pendakian ini dilakukan secara ‘tektok’ karena di hari Minggu Eki harus tiba di Jakarta untuk interview kerja.
Untuk kalian yang kerap naik gunung pasti sudah tidak asing dengan
istilah yang satu ini. Namun bagi yang belum tahu, yang dimaksud tektok adalah
naik gunung tanpa camp, alias mendaki sampai puncak (ataupun tidak sampai puncak) dan
langsung turun lagi. Sejujurnya selama ini saya selalu naik gunung dengan cara
normal, bahkan yang terakhir itu dilakukan selama 3 hari 2 malam. Tapi toh saya
setuju dengan ide Eki. Meskipun kami memilih untuk tektok, Eki tetap sedia
flysheet, kompor, nesting dan baju hangat. Saya pun membawa ponco (mantel
plastik) dua buah dan logistik secukupnya, yaitu roti sobek dan kopi. Dari awal
kami sudah sepakat bahwa bila cuaca tidak memungkinkan, sampai di pos berapapun
kami siap untuk kembali turun. Intinya tidak ingin memaksakan.
Jumat 29 April, sepulang kerja saya langsung pulang untuk packing. Ya,
namanya juga dadakan jadi packing pun di hari-H. Saya membawa daypack 20liter
yang memang tidak muat terlalu banyak barang. Karena kebiasaan, saya juga
membawa mini bag untuk menyimpan barang penting sebagaimana biasanya jika naik
gunung. Jam 20.00 WIB saya menuju stasiun Tangerang untuk ke Bekasi, karena Eki
menunggu di sana. perjalanan dengan krl itu memakan waktu sekitar dua setengah
jam hingga akhirnya saya bertemu dengan Eki untuk pertama kali. Hlo, kok
pertama? Iya nanti ceritanya di post terpisah ya hehe. Begitu ketemu, kami
langsung tancap gas ke Cibodas, kira-kira perjalanan dimulai pukul 23.00 WIB.
Mandalawangi yang sepi
Cuaca memang sedikit mendung, kami berhenti sebentar di puncak pass
untuk ngopi. Eki sudah gelisah karena mendung tak juga pergi, malah membawa
serta gerimisnya turun. Tak lama kami kembali melanjutkan perjalanan ke
Cibodas. Sesampainya disana, kami menuju warung Mang Idi untuk segera
beristirahat. Waktu itu kira-kira pukul 02.00 dini hari. Karena ruangan yang
disediakan untuk beristirahat sudah dipastikan ramai, kami hanya nyempil di bawah tangga. Baru dua jam
terlelap, saya sudah gelisah karena udara cukup dingin. Alhasil sebelum alarm
berbunyi saya sudah melek duluan. Baru ketika jam 05.30 saya bisa kembali
tertidur dan dibangunkan Eki jam 06.30 untuk bersiap-siap.
Cuaca sedikit mendung membuat kami sedikit pesimis bahkan untuk
sekedar sampai di kandang badak. Setelah sarapan roti, kami menuju jalur
pendakian Cibodas.
“Dit, target tiga jam ya sampe kandang badak. Hehe …”
“Yaa… semoga. Gue mah apa atuh, lelet.”
“Haha… santai kok dit. Liat aja nanti sikonnya.”
Kami memulai pendakian jam 07.30 dengan keadaan cukup ramai. Namun disepanjang
jalur hingga Pos Rawa Panyancangan nyatanya kami tidak terlalu banyak bertemu
dengan pendaki lain. Disitu saya sudah engap dan Eki juga mulai menawarkan
“Mau lenggang nggak Dit?”
Tentu saja tidak. Antara masih merasa mampu dan gengsi, saya menolak
tawaran Eki.
“Nggak, gue masih bisa Ki. Enak aja lo … hehehe…”
Akhirnya setelah berhenti lima belas menit kami melanjutkan
perjalanan. Oh ya, lama perjalanan dari pos hingga Rawa Panyancangan adalah
45menit. Yaaaa lumayan, biasanya jika membawa keril saya menempuhnya selama
satu jam lima belas menit.
Jalur Cibodas sedang banjir
waktu itu, karena kemarin Gede Pangrango diguyur hujan. Walhasil, ada beberapa
tanjakan yang kami harus berbecek-becek ria. Belum sampai air panas sepatu sudah direlakan basah. Rawa Denok 1, Rawa Denok 2 dan Batu Kukus 1 tidak kami
singgahi. Eki senantiasa bawel jika langit kembali mendung. Saya hanya
harap-harap cemas, maklum belum pernah tektok.
Sampailah kami di Batu Kukus 2 dan saya meminta Eki untuk berhenti.
Kira-kira waktu itu jam 10.10. Eki merokok sebatang sedang saya hanya duduk
menyender sembari mengumpulkan tenaga. Tidak ingin berhenti terlalu lama, kami
melanjutkan pendakian ke Air Panas. Disana, kami akan mengganjal perut untuk persiapan summit.
Kami sampai Air Panas sekira pukul 11.00 dan disana mulai
terlihat banyak pendaki lain yang sedang beristirahat. Disana pula, saya
kembali menemukan tegur sapa di ketinggian ribuan mdpl.
“Dari mana mas?” tanya seseorang dari tiga laki-laki di depan kami
berdua.
“Bekasi mas. Kalo dia mah Tangerang.”
“Wah, lumayan. Hehe. Ini tektok apa gimana?”
“Iya mas, ya Insyaallah sampe atas. Hehe. Target sih jam satu. Ini mas
nya tekok juga?” Tanya Eki, karena melihat mereka bertiga juga tidak membawa carrier.
“Iya mas, hehe.. Gede sih. Kalo mas nya mau ke Gede juga?”
“Enggak mas, mau nyoba Pangrango.”
Selang beberapa menit, ada beberapa pendaki yang turun dan mampir ke
pos Air Panas juga.
“Turun bang? Di atas hujan nggak?” tanya Eki pada salah satu yang
duluan duduk di depan kami.
“Enggak sih bang, tapi ya jaga-jaga aja. Tektok nih?” tanya balik,
karena tidak melihat kami membawa carrier.
“Iya, hehe.”
“Bawa jas ujan nggak? Nih pake punya gue. Bawa aja bang..”
“Udah bawa kok bang. Lo bawa kan Dita?” Eki menoleh kepada saya,
memastikan.
“Bawa kok, dua.” Saya mengangguk.
“Bener? Nggak apa-apa kalo mau pake mah.. apa mau bawa tenda?” Tawar
abang yang lainnya.
“Makasih bang, nanti kalau hujan langsung turun kok..”
“Emang target jam berapa sampe puncak?”
“Jam satu bang.”
“Wah … nguber itu mah ya …”
“Yaa.. iya. Saya sih tergantung yang cewe aja .” Eki kembali menoleh
ke saya.
“Heem,” gumam saya pelan, bingung mau berkomentar apa.
“Yaudah lanjut yok Dit,” ajak Ekii sembari bersiap-siap. Kami pun
kembali melanjutkan perjalanan.
Akhirnyaaaa… satu goal di siang ini yaitu Kandang Badak ada di depan
mata. Kami sampai di pertigaan pemisah Gede dan Pangrango itu sekira pukul
12.00 WIB. Saya mencari spot untuk rehat sembari Eki mengisi air. Kami segera
memasak air untuk membuat kopi. Yang saya lihat, Kandang Badak sedikit lebih
rapi dan bersih dibanding tahun lalu saat saya terakhir kali kesini. Atau
mungkin karena masih siang dan belum banyak pendaki yang tiba? Lagit kembali cerah
meskipun Pangrango tertutup kabut lebal. Sambil harap-harap cemas, kami
beristirahat selama tiga puluh menit. Setelah dirasa cukup, kami kembali
melangkah dan mengambil jalur ke kanan dimana Pangrango berada.
Antara penasaran dan khawatir akan hujan, karena yang saya lihat jalur
Pangrango sangat berbeda dengan Gede. Jalurnya didominasi tanah, banyak pohon
tumbang yang malang-melintang dan sangat lembab. Sepi, kami tak menemui satupun
pendaki setelah berjalan selama lima belas menit. Tidak sempat untuk mengambil foto karena langit yang menggelap karena mendung dirasa mengkhawatirkan. Jadilah saya hanya menahan-nahan keinginan untuk mengabadikan momen dan pemandangan. Akhirnyapun saya musti puas dengan menikmati pemandangan ini : jalur sepi,
diselingi kabut tipis, pepohonan penuh lumut tebal, beberapa jalanan basah dan
suara serangga-serangga gunung.
-bersambung-
Salam,
-ND-
Salam,
-ND-
1 komentar
Huh..
BalasHapusjadi mau juga ke pangrango :/
pait pait paitttttt