Catper pendakian Gunung Lawu 3265mdpl (part 2) #NulisRandom2015

by - 05.26.00

foto oleh : Mas Bayu

Catper pendakian Gunung Lawu 3265mdpl (part 2)

    Rupanya cuaca tidak begitu bersahabat. Langit kembali mendung dan kabut mulai menyelimuti bukit-bukit serta lereng gunung Lawu sebelum maghrib tiba. Saya pun lantas pamit pada mas Bayu untuk duluan masuk tenda. Dingin mulai terasa seiring kabut yang datang.

    Saya hanya pesan, “Mas Bayu, nanti kalau sunset nya bagus panggil aku yak.. “
“Siap !” dan saya pun meringsek masuk ke tenda menyusul teman-teman yang lain.
Talang, Rian, Mustika dan Riska sudah berselimut sb dan menyisakan satu ruang untuk saya. Awalnya saya hanya menggunakan sleepingbag dan kemeja flannel serta bercelana pendek. Selang setengah jam, saya dengan mas Bayu masuk ke tenda sebelah. Saya bangun, mencari-cari sarung tangan dan kaus kaki. Setelah ketemu, segera dipakai dan kembali rebahan. Namun lagi-lagi dingin semakin bertambah. Maka saya pakai buff mulai dari leher hingga kempala dan hanya menyisakan celah di bagian mata. Belum cukup, saya pakai jaket untuk melapisi bagian terluar. Nah, sekarang lebih baik dan cukup hangat.  Jadi kira-kira begini lapisan kostum saya saat tidur : kaus dan celana pendek, kemeja flannel, kaus kaki dan tangan, buff, jaket, terakhir sleeping bag. Baru saya akui, Lawu memang benar-benar memiliki suhu yang amat dingin terlebih ketika malam datang.

        Semakin malam, teman-teman semakin tak nyenyak tidur. Riska yang di sebelah saya kadang menggigil. Maka saya dekap saja supaya lebih hangat. Rian dan Mustika sibuk mencari pakaian hangat mereka. Tak berapa lama, Talang bangun dan berpindah ke tenda mas Bayu. Mungkin di tenda ini sudah terlalu sempit atau saya yang kebanyakan tingkah sehingga mengganggu tidurnya. Jelang tengah malam, saya sudah terlalu mengantuk untuk ikut menimbrung pembicaraan Mustika dan Rian yang entah sibuk saling memasangkan pakaian hangat atau hanya bergumam tentang dingin yang amat sangat. Saya jatuh tertidur hingga subuh datang.

        Alarm handphone saya berdering pukul 04:30 WIB. Mau tak mau saya bangun mencari bodypack tempat saya menyimpan barang-barang penting itu. Alarm  hanya saya tunda-tunda saja agar tidak kesiangan. Setiap lima menit alarm itu berbunyi sampai pukul 05:30 WIB. Akhirnya saya benar-benar bangun karena ‘panggilan alam’. Saya melepas jaket, kaus tangan dan kaus kaki. Beranjak keluar tenda untuk melihat suasana.

    Pagi itu langit sangat cerah, pemandangan dari pos 3 sudah cukup bagus. Saya cukup berisik saat merapikan barang sehingga yang lain ikut bangun. Mustika protes karena saya tidak membangunkannya lebih awal. Kami segera merapikan barang, packing ulang dan membongkar tenda. Setelah semua rapi, barulah kami membuat sarapan. Di tenagh-tengah menyiapkan sarapan, kami saling bercerita betapa dinginnya semalam. kata mas Bayu, semalam suhunya mencapai nol derajad celcius. Pantas saja... kami menggumam.

        Menu sarapan kali ini adalah bubur dan bakso. Ah, kalau di gunung toh makan apa saja sudah bersyukur. Meski Talang terlalu banyak menuang air hingga bumbu tidak terasa, tapi kami makan dengan cukup lahap. Selesai sarapan, kami bersiap untuk memulai kembali perjalanan.

      Beberapa puluh meter dari pos, kami menemui sumber mata air. Ada genangan air yang terus terisi oleh aliran air dari celah batu. Kami mengambil dua botol untuk persediaan. Dari pos 3 menuju pos 4 jalanan masih sama, cukup landai dan ada jalur evakuasi. Kami kembali memilih jalur evakuasi untuk mengejar waktu, karena kami terlalu siang memulai perjalanan.

      Kami sampai di pos 4 pukul 14:00 WIB. Pos 4 cukup luas dan hanya ada rombongan kami di sana. Saya segera merebahkan diri di pelataran pos. Begitupun yang lain, bahkan ada yang langsung tidur-tiduran. Saya dan mas Bayu bergantian ambil foto. Talang dan Riska main entah apa, sembari duduk di rerumputan. Rian dan Mustika mengobrol di dekat edelweiss depan jalan setapak.

    Kami tidak berlama-lama di pos 4, sebab lapar sudah mendera. Sudah terbayang-bayang nasi pecel dan teh jumput hangat mbok Yem yang terkenal di antara para pendaki itu.  Maka kami bergegas menuju pos 5 yang dengan kata lain adalah puncak Hargo Dalem. Dari jalanan antara pos 4 menuju Hargo Dalem, kita dapat melihat puncak Hargo Dumilah. Puncak Hargo Dumilah adalah puncak yang paling tinggi di gunung lawu.

    Dengan jalur yang cukup melelahkan, kami sampai di puncak Hargo Dumilah. Di sana ada makam dan tempat untuk besemedi. Ada bangunan permanen dan semi permanen yang di jaga oleh penduduk gunung Lawu. Kami menyempatkan diri mampir, melihat petilasan. Tak lama, segera kami menuju warung mbok Yem. Kecewa, karena ternyata mbok Yem sedang mantu, yaitu menikahkan anaknya. Jadi sekarang ia sedang dalam perjalanan turun gunung.

    Harapan kami beralih pada warung yang ada di bawah puncak Hargo Dumilah, sekitar lima belas menit dari warung mbok Yem. Kalau tidak salah namanya warung mbok Nah. (koreksi ya kalau salah). Warung ini letaknya ada di samping sendang Drajad. Wah, siapa pendaki gunung Lawu yang tidak pernah dengar sendang ini.

    Begitu sampai di sendang Drajad sekaligus warung mbok Nah, kami segera meemsan nasi pecel. Namun kami harus menunggu karena nasinya belum matang. Sembari menunggu, kami merundingkan siapa saja yang akan ke puncak Hargo Dumilah. Saya tentu saja mau, karena penasaran dan merasa fisik masih mumpuni. Mustika dan Riska juga bersemangat untuk kesana. Karena Talang enggan ikut dan memilih menunggu di warung sekaligus menjaga keril kami yang summit, maka mas Bayu juga memutuskan untuk menunggu di warung saja bersama Talang.

    Selang beberapa menit setelah perundingan selesai, nasi pecel pesanan kami datang. Rasanya benar-benar makan enak setelah kemarin hanya makan seadanya. Kami makan dengan lahap tanpa banyak mengobrol.

    Saya, Mustika, Rian dan Riska siap naik ke puncak setelah kenyang dan membawa bekal yang cukup.  Jalur menuju puncak Hargo Dumilah cukup jelas, semakin mendekati puncak ada jalur bebatuannya. Begitu melihat bendera di ujung tugu puncak, saya menarik napas lega. Ternyata dari sendang Drajad menuju puncak Hargo Dumilah hanya membutuhkan waktu lima belas menit.

   Sayang sekali, kami sampai di sana hari sudah sore, dan kabut ada di mana-mana. Pemandangan di atas awan sangat sulit di dapat. Jadi kami harus berpuas diri dengan secercah cahaya di bagian barat. Kami sampai di puncak pukul 17:00 WIB. Wah, harus segera turun jika tak ingin kemalaman sampai di bawah.

    Setelah kami ber-empat kembali ke warung, Talang dan mas Bayu segera ikut bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan turun. Untuk menuruni gunung Lawu ini kami memilih jalur cemoro Sewu. Sebab hujan semalam pasti membuat kontur tanah di jalur cemoro Kandhang menjadi becek dan akan menyulitkan perjalanan turun kami.

    Sedangkan jalur cemoro Sewu di dominasi dengan jalur tangga dari bebatuan, tentunya akan lebih aman dan memudahkan langkah kami menuruni gunung. Maka kami mulai turun melalui jalur cemoro Sewu.

    Dari sendang Drajad menuju pos 5, pemandangannya sangat bagus. Lebih luas dari pada pemandangan di jalur cemoro Kandhang. Cuaca di sekitar gunung Lawu memang sulit di prediksi. Belum ada satu jam yang lalu kami menmui mendung di Puncak, kini sepanjang jalur turun langit cerah. Kami mulai bertemu dengan pendaki-pendaki yang naik melalui jalur ini.

    Langit mulai gelap ketika kami sampai di pos 4, saat itu sekitar pukul 18:30 WIB. Kami mengeluarkan senter dan headlamp masing-masing. Ketika langit benar-benar telah gelap pekat, kami mulai mengatur posisi. Berjalan paling depan adalah Talang, kemudian Mustika, Riska, Rian, saya dan mas Bayu sebagai sweeper.

    Gerimis turun sedikit-sedikit dan langit kelihatan mendung. Kami khawatir akan terkena hujan dalam situasi begini. Maka kami membatasi waktu istirahat untuk mengejar waktu. Awalnya, kami merasa baik-baik saja dan masih dalam kondisi cukup kuat. Namun rupanya Riska mulai kelelahan dan kaki-kaki saya serta Mustika mulai tidak stabil …


(bersambung)


Salam,

Naredita


#NulisRandom2015 #Day4

You May Also Like

2 komentar

  1. Keren yaaaa... bisa menikmati keindahan alam secara langsung. Bahan yang sangat bagus untuk menulis :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi makasih.. :) Musti sering pergi biar ngga kehabisan bahan berarti yaa :D

      Hapus