Satu hari di Merapi
Pasar Bubrah dan Puncak Merapi
Tiada yang lebih dinanti
daripada libur lebaran, salah satu momen dimana ajang saling mengunjungi seolah
menjadi kewajiban. Tahun ini adalah kedua kali saya pulang ke Solo setelah
lulus kuliah. Rencana Rinjani yang digadang-gadang akan kami tapaki selepas
Idul Fitri ternyata urung dijalani. Ada banyak pertimbangan dan kurangnya
persiapan membuat saya dan Sita pada hari-hari menjelang keberangkatan akhirnya
memutuskan untuk tidak turut serta.
Sebagai gantinya, saya
meluangkan lebih banyak waktu di rumah pada lebaran tahun ini. Namun karena
dirasa tidak afdol bila tidak naik
gunung, kembali saya menghubungi Mas Bayu (seperti biasanya) untuk menemani
mendaki gunung Merapi. Kedua kalinya bagi saya dan pertma bagi Sita. Kondisi
sedikit tidak fit membuat saya berkata pada Sita di awal :
“Sit kalau mau summit, sama Mas Bayu aja ya. Nanti gue
nungguin di Pasar Bubrah aja.”
Akhirnya saya dan Sita
sepakat untuk hanya membawa satu carrier dan satu tas lipat karena rencana kami
bertiga adalah pendakian tektok. Saya dan Sita berboncengan menggunakan motor
ke Boyolali, dimana rumah Mas Bayu berada. Tidak sampai satu jam kami telah
tiba. Kami segera packing ulang sekaligus cek peralatan dan logistic. Flysheet,
hammock, webbing, matras dan sejumlah bahan makanan telah siap. Mas bayu bahkan
membawa telur kali ini, beserta wajan dan minyak gorengnya.
Bertiga kami menembus
hawa dingin Boyolali tengah malam, menuju basecamp Barameru. Tidak ada hal lain
selain mencoba mengalihkan rasa pegal di lutut dan paha karena menahan badan, sebab
jalanan semakin menanjak. Kami sampai sekira pukul 23.30 dan segera mengurus
simaksi. Pendakian kami mulai pukul 00.30
setelah mengucap doa di pintu masuk New Selo.
Tas lipat yang
sebenarnya berfungsi untuk sepatu ini terisi tiga liter air, kompor dan
logistik. Carrier Sita berisi matras, jaket kami berdua, sepasang baju ganti dan beberapa sachet kopi.
Carrier Mas Bayu ? saya lupa apa saja isinya. Hehe. Yang jelas paling berat
diantara kami bertiga. Saya berjalan di depan, SIta di tengah sedang Mas Bayu
menjadi sweeper. Karena jarak lumayan jauh dan saya tidak tahu jika Mas Bayu
berniat untuk mengambil jalur evakuasi. Sementara saya langsung mengaambil
jalur Kartini karena memang jalur itulah yang lebih ramai. hingga ketika saya
menunggu Mas Bayu dan kami bertemu di sebuah percabangan, Mas Bayu mengatakan
bahwa sudah terlalu jauh untuk kembali ke awal jalur evakuasi, lanjutkan saja
jalur Kartini ini baru besok saat turun kita menjajal jalur evakuasi.
Kami sampai di Pos 1
(Watu Belah), dimana ada sebuah bale yang sudah penuh dengan beberapa pendaki.
Sindoro-Sumbing sudah dapat terlihat karena cuaca yang cerah. Kami duduk
dibelakang batu, berharap tertutupi dari hembusan angin dini hari. Kami disana
sekitar 30 menit, karena SIta ngantuk
berat. Setelah istirahat dirasa cukup kami melanjutkan pendakian. Saat itu
kira-kira pukul 03.00 pagi.
Tempat yang dinanti
pun ada di depan mata, yaitu Lumutan. Disana banyak yang mendirikan tenda
karena memang sudah berjarak lumayan dekat dari Pasar Bubrah dan lokasinya
mendukung bila sengaja menunggu sunrise. Kami bertiga sepakat untuk stay di Lumutan hingga matahari
menampakkan dirinya secara utuh. Hawa dingin tak dapat dipungkiri, karena saya
mencoba untuk tidak menggunakan jaket kali ini. Menyaingi Mas Bayu yang selalu
berkaus dan bercelana pendek.
Tahu kan, kenapa saya jatuh cinta dengan Lumutan?
Kami menanti datangnya
matahari mulai pukul 05.30 hingga 06.40 , dan seperti sebelumnya, saya selalu
terkesima dengan sunrise dari tempat ini. Pandangan yang luas tanpa terhalang
pohon, dan bila kita memalingkan pandang ke selatan akan terlihat puncak Merapi
disana. lampu-lampu senter para pendaki yang sedang summit gemerlapan merayap disepanjang jalur menuju puncak.
Setelah puas memandang
matahari pagi yang telah membulat, kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar
Bubrah. Perut sudah mulai memberontak karena lapar. Kira-kira satu jam kemudian
kami sampai di Pasar Bubrah dan segera mengeluarkan peralatan masak. Mas Bayu
membawa kopi Flores yang belum pernah saya coba sebelumnya. Air mendidih dan
kopi pun di seduh. Aroma telur dadar yang sedang digoreng Mas Bayu beredar, begitupun
aroma mie rebus yang sedang diolah Sita.
Mas Bayu masakkk
Pasar Bubrah
Merbabu dari atas Lumutan
Setelah sarapan yang
mengenyangkan, Mas Bayu mencoba-coba memasang hammock di antara dua batu yang
ada di dekat kami. Beberapa kali mencoba, ada saja yang salah. Terlalu rendah,
terlalu longgar, tali yang melorot. Namun Mas Bayu kekeuh untuk tetap
memasangnya dan … tadaaaa. Hammocknya bisa ditumpangi meski tidak tinggi. Saya
dan Sita yang paling ribut masalah foto. Di hammock maupun di atas batu.
Kami mengobrol dengan
beberapa rombongan pendaki yang kebetulan mendirikan tenda di dekat tempat kami
singgah. Canda tawa dan budaya tukar makanan berlangsung sepanjang siang
sebelum mereka lebih dulu turun.
“Sit, summit sonoh…” saya katakana pada Sita
sembari mengarahkan dagu pada titik-titik kecil (orang) yang sedang merayapi
pasri menuju puncak Merapi.
“Nggak ah Dit,
kapan-kapan aja. Hahaha..”
Ya, sudah terlampau
siang pula untuk menuju ke atas sana, selain karena badan yang sudah cukup
lelah. Mata pun serasa minta dipejamkan. Maka saya menyempatkan diri untuk
tidur sejenak, yang nyatanya pulas hingga satu jam lebih. Cuaca cerah dengan
sinar matahari yang terik. Begitu terbangun, kami langsung packing ulang untuk
segera turun. Angin membawa hawa dingin meski langit tidak mendung sedikitpun.
kiww
Dengan beban yang
lebih ringan dan jalanan yang menurun, jelas mempercepat langkah kami. Ketika sampai
di bawah lumutan, dekat tempat kami melihat sunrise tadi pagi, kami bertemu
rombongan FKPGSR (Forum Komunitas Pendaki Gunung Solo Raya) yang mana Mas Bayu
menjadi salah seorang anggotanya, juga Baro, yang memang saya kenal. Kami sempatkan
mengobrol sebentar sebelum berpamitan untuk turun terlebih dulu.
Sesuai rencana, kami
melewati jalur evakuasi kali ini. Memang benar, lebih landai dan posisinya
memang sedikit dibawah jalur Kartini. Kedua jalur ini bertemu lagi di sebuah
pertigaan sekitar Pos 1. Kami sempat istirahat cukup lama di bawah Pos 1,
mengobrol ngalor-ngidul, tidak
terlalu khawatir karena basecamp tidak jauh lagi.
Bersama rombongan FKPGSR
Pukul 16.00, kami
sampai di gardu New Selo, dimana ada beberapa warung disana. sambil mengobrol
dengan beberapa pendaki lain yang juga baru turun, kami mengistirahatkan kaki. Teh
manis panas dan sepiring nasi goreng boleh juga. Tidak berlama-lama, kami turun
sebelum maghrib untuk kembali lapor ke basecamp dan mengambil motor.
Kami berpisah dengan
mas Bayu di Boyolali, tidak bisa mampir. Maaf ya Mas, nanti lain waktu. Ya begitulah,
Merapi tak pernah ingkar janji, yang kerap dikatakan orang-orang tentang si
kecil cabe rawit ini. Meski kaki-kaki pendaki tak henti menapaki punggungnya,
meski dentuman para penggali pasir terdengar sepanjang hari. Seperti sebuah
kalimat yang ada di lokasi sisa erupsi tahun 2010 lalu :
Pesan Merapi
“Aku ora ngalahan, tur yo ora pengen
dikalahke.
Nanging mesti tekan janjine, mung nyuwun
pangapuro nek ono seng
Ketabrak, keseret, kenter, kebanjiran lan klelep.
Mergo ngalang-ngalangi dalan sing
bakal tak liwati.”
Nanti, besok entah
kapan, saya mau mampir lagi kesana. Kalau mau ikut bilang ya.
Salam,
ND
0 komentar