Satu hari di Merapi

by - 19.00.00

Pasar Bubrah dan Puncak Merapi

Tiada yang lebih dinanti daripada libur lebaran, salah satu momen dimana ajang saling mengunjungi seolah menjadi kewajiban. Tahun ini adalah kedua kali saya pulang ke Solo setelah lulus kuliah. Rencana Rinjani yang digadang-gadang akan kami tapaki selepas Idul Fitri ternyata urung dijalani. Ada banyak pertimbangan dan kurangnya persiapan membuat saya dan Sita pada hari-hari menjelang keberangkatan akhirnya memutuskan untuk tidak turut serta.

Sebagai gantinya, saya meluangkan lebih banyak waktu di rumah pada lebaran tahun ini. Namun karena dirasa tidak afdol bila tidak naik gunung, kembali saya menghubungi Mas Bayu (seperti biasanya) untuk menemani mendaki gunung Merapi. Kedua kalinya bagi saya dan pertma bagi Sita. Kondisi sedikit tidak fit membuat saya berkata pada Sita di awal :
“Sit kalau mau summit, sama Mas Bayu aja ya. Nanti gue nungguin di Pasar Bubrah aja.”

Akhirnya saya dan Sita sepakat untuk hanya membawa satu carrier dan satu tas lipat karena rencana kami bertiga adalah pendakian tektok. Saya dan Sita berboncengan menggunakan motor ke Boyolali, dimana rumah Mas Bayu berada. Tidak sampai satu jam kami telah tiba. Kami segera packing ulang sekaligus cek peralatan dan logistic. Flysheet, hammock, webbing, matras dan sejumlah bahan makanan telah siap. Mas bayu bahkan membawa telur kali ini, beserta wajan dan minyak gorengnya.

Bertiga kami menembus hawa dingin Boyolali tengah malam, menuju basecamp Barameru. Tidak ada hal lain selain mencoba mengalihkan rasa pegal di lutut dan paha karena menahan badan, sebab jalanan semakin menanjak. Kami sampai sekira pukul 23.30 dan segera mengurus simaksi. Pendakian  kami mulai pukul 00.30 setelah mengucap doa di pintu masuk New Selo.

Tas lipat yang sebenarnya berfungsi untuk sepatu ini terisi tiga liter air, kompor dan logistik. Carrier Sita berisi matras, jaket kami berdua,  sepasang baju ganti dan beberapa sachet kopi. Carrier Mas Bayu ? saya lupa apa saja isinya. Hehe. Yang jelas paling berat diantara kami bertiga. Saya berjalan di depan, SIta di tengah sedang Mas Bayu menjadi sweeper. Karena jarak lumayan jauh dan saya tidak tahu jika Mas Bayu berniat untuk mengambil jalur evakuasi. Sementara saya langsung mengaambil jalur Kartini karena memang jalur itulah yang lebih ramai. hingga ketika saya menunggu Mas Bayu dan kami bertemu di sebuah percabangan, Mas Bayu mengatakan bahwa sudah terlalu jauh untuk kembali ke awal jalur evakuasi, lanjutkan saja jalur Kartini ini baru besok saat turun kita menjajal jalur evakuasi.

Kami sampai di Pos 1 (Watu Belah), dimana ada sebuah bale yang sudah penuh dengan beberapa pendaki. Sindoro-Sumbing sudah dapat terlihat karena cuaca yang cerah. Kami duduk dibelakang batu, berharap tertutupi dari hembusan angin dini hari. Kami disana sekitar 30 menit, karena SIta ngantuk berat. Setelah istirahat dirasa cukup kami melanjutkan pendakian. Saat itu kira-kira pukul 03.00 pagi.

Tempat yang dinanti pun ada di depan mata, yaitu Lumutan. Disana banyak yang mendirikan tenda karena memang sudah berjarak lumayan dekat dari Pasar Bubrah dan lokasinya mendukung bila sengaja menunggu sunrise. Kami bertiga sepakat untuk stay di Lumutan hingga matahari menampakkan dirinya secara utuh. Hawa dingin tak dapat dipungkiri, karena saya mencoba untuk tidak menggunakan jaket kali ini. Menyaingi Mas Bayu yang selalu berkaus dan bercelana pendek.

Tahu kan, kenapa saya jatuh cinta dengan Lumutan?

Kami menanti datangnya matahari mulai pukul 05.30 hingga 06.40 , dan seperti sebelumnya, saya selalu terkesima dengan sunrise dari tempat ini. Pandangan yang luas tanpa terhalang pohon, dan bila kita memalingkan pandang ke selatan akan terlihat puncak Merapi disana. lampu-lampu senter para pendaki yang sedang summit gemerlapan merayap disepanjang jalur menuju puncak.

Setelah puas memandang matahari pagi yang telah membulat, kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar Bubrah. Perut sudah mulai memberontak karena lapar. Kira-kira satu jam kemudian kami sampai di Pasar Bubrah dan segera mengeluarkan peralatan masak. Mas Bayu membawa kopi Flores yang belum pernah saya coba sebelumnya. Air mendidih dan kopi pun di seduh. Aroma telur dadar yang sedang digoreng Mas Bayu beredar, begitupun aroma mie rebus yang sedang diolah Sita.

 Mas Bayu masakkk

 Pasar Bubrah
 Merbabu dari atas Lumutan 

Setelah sarapan yang mengenyangkan, Mas Bayu mencoba-coba memasang hammock di antara dua batu yang ada di dekat kami. Beberapa kali mencoba, ada saja yang salah. Terlalu rendah, terlalu longgar, tali yang melorot. Namun Mas Bayu kekeuh untuk tetap memasangnya dan … tadaaaa. Hammocknya bisa ditumpangi meski tidak tinggi. Saya dan Sita yang paling ribut masalah foto. Di hammock maupun di atas batu.

Kami mengobrol dengan beberapa rombongan pendaki yang kebetulan mendirikan tenda di dekat tempat kami singgah. Canda tawa dan budaya tukar makanan berlangsung sepanjang siang sebelum mereka lebih dulu turun.



 “Sit, summit sonoh…” saya katakana pada Sita sembari mengarahkan dagu pada titik-titik kecil (orang) yang sedang merayapi pasri menuju puncak Merapi.
“Nggak ah Dit, kapan-kapan aja. Hahaha..”
Ya, sudah terlampau siang pula untuk menuju ke atas sana, selain karena badan yang sudah cukup lelah. Mata pun serasa minta dipejamkan. Maka saya menyempatkan diri untuk tidur sejenak, yang nyatanya pulas hingga satu jam lebih. Cuaca cerah dengan sinar matahari yang terik. Begitu terbangun, kami langsung packing ulang untuk segera turun. Angin membawa hawa dingin meski langit tidak mendung sedikitpun.

kiww


Dengan beban yang lebih ringan dan jalanan yang menurun, jelas mempercepat langkah kami. Ketika sampai di bawah lumutan, dekat tempat kami melihat sunrise tadi pagi, kami bertemu rombongan FKPGSR (Forum Komunitas Pendaki Gunung Solo Raya) yang mana Mas Bayu menjadi salah seorang anggotanya, juga Baro, yang memang saya kenal. Kami sempatkan mengobrol sebentar sebelum berpamitan untuk turun terlebih dulu.

Sesuai rencana, kami melewati jalur evakuasi kali ini. Memang benar, lebih landai dan posisinya memang sedikit dibawah jalur Kartini. Kedua jalur ini bertemu lagi di sebuah pertigaan sekitar Pos 1. Kami sempat istirahat cukup lama di bawah Pos 1, mengobrol ngalor-ngidul, tidak terlalu khawatir karena basecamp tidak jauh lagi.

Bersama rombongan FKPGSR

Pukul 16.00, kami sampai di gardu New Selo, dimana ada beberapa warung disana. sambil mengobrol dengan beberapa pendaki lain yang juga baru turun, kami mengistirahatkan kaki. Teh manis panas dan sepiring nasi goreng boleh juga. Tidak berlama-lama, kami turun sebelum maghrib untuk kembali lapor ke basecamp dan mengambil motor.

Kami berpisah dengan mas Bayu di Boyolali, tidak bisa mampir. Maaf ya Mas, nanti lain waktu. Ya begitulah, Merapi tak pernah ingkar janji, yang kerap dikatakan orang-orang tentang si kecil cabe rawit ini. Meski kaki-kaki pendaki tak henti menapaki punggungnya, meski dentuman para penggali pasir terdengar sepanjang hari. Seperti sebuah kalimat yang ada di lokasi sisa erupsi tahun 2010 lalu :

Pesan Merapi
“Aku ora ngalahan, tur yo ora pengen dikalahke.
Nanging mesti tekan janjine, mung nyuwun pangapuro nek ono seng
Ketabrak, keseret, kenter,  kebanjiran lan klelep.
Mergo ngalang-ngalangi dalan sing bakal tak liwati.”

Nanti, besok entah kapan, saya mau mampir lagi kesana. Kalau mau ikut bilang ya.


Salam,
ND

You May Also Like

0 komentar