Siapa Dilan ? Dia Dilanku tahun 1990

by - 17.19.00



“Kepala Sekolah nampar dia, kubakar sekolah ini! Apalagi cuma Anhar”

Dari sekian quotes dan kata-kata romantis yang bertebaran dalam novel ini, ucapan Dilan diatas yang justru paling membuatku nge-fans pada Dilan. Dan maafkan jika tulisan ini tidak seperti tulisan di post-post sebelumnya, terutama pada gaya bahasa. Ya, sungguh terlambat membuat review tentang Dilan : Dia adalah Dilanku tahun 1990 disaat mana buku ketiganya bertajuk ‘Milea’ sudah beredar luas di toko-toko buku. Tapi, toh, Pidi Baiq menulis cerita yang terjadi 24 tahun lalu bukan?

Jujur, ini pertama kali kubaca novel dari Pidi Baiq. Kesannya? Banyak. Tapi nanti dulu ya, kuceritakan seperti apa novel yang telah membuat jutaan pembaca terutama wanita (apalagi angkatan 90’an saat SMA) ingin pindah ke Bandung hanya demi bertemu Dilan saat itu. Diambil dari sudut pandang Milea, bahkan hingga lembar terakhir, Dilan masih tergambar cukup misterius. Apa yang dilakukannya bisa tak terduga-duga. Pidi Baiq sendiri menulis novel ini seperti buku diary, tempat dimana Milea mengenangkan masa lalunya dengan Dilan.




   Mau cinta, mau enggak. Dengar, ya, hai, kamu yang namanya Dilan. Terseraaahh! Itu urusanmu! Emang gua pikiriiin!? (Milea)

Gaya bahasa yang santai membuat cerita mengalir dengan kesan menyenangkan untuk terus diikuti. Apalagi ada ilustrasi-ilustrasi sederhana yang menggambarkan beberapa adegan penting. Perihal karakter para tokoh, dapat kalian nilai bagaimana Akang Pidi membentuknya sembari membaca lembar demi lembar. Ada banyak sudut-sudut kota Bandung yang disebut di dalam novel, yang pasti kalau pembacanya orang Bandung asli akan jadi baper. Kemudian membuat kita membayangkan seperti apa syahdunya Bandung di 1990an itu.

Karena pembaca melihat dari sudut pandang Milea, ya … sudah. Kuceritakan seperti apa Dilan itu., di mata Milea dan di mataku sebagai pembaca. Disebut ganteng? Milea hampir tidak pernah mengatakannya. Puitis? Iya. Pandai melucu? Jelas. Dan seperti pelajar lain yang tergabung dalam geng motor, Dilan juga punya penampilan serupa, tempat nongkrong yang sama dan berkelakuan hampir sama dengan anak-anak nakal pada umumnya. Tapi bedanya, Dilan punya idealisme yang tinggi. Ya, Dilan yang mengagumi pahlawan revolusioner. Yang kamarnya mirip dengan perpustakaan saking banyaknya buku. Dilan yang punya seribu akal untuk mengistimewakan Milea. Yang sayang dengan keluarga. Ah, Dilan.

Yakin, mereka yang masa-masa SMA nya sudah terlewat, akan terbayang atau memaksa dirinya sendiri untuk mengingat bagaimana masa SMA miliknya dulu. Tidak perlu bicara soal pesan moral dalam novel ini, karena sepertinya sang penulis tidak memaksudkan untuk membuat pembaca menggali makna. Novel ini, murni menceritakan apa yang dirasakan Milea, dari Dilan dan untuk kita semua yang membacanya.
  
Kamu pernah nangis?
Waktu bayi, pengen minum.
Bukan, ih! Pas udah besar. Pernah nangis?
Kamu tau caranya supaya aku nangis?
Gimana?
Gampang.
Iya, gimana?
Menghilanglah kamu di bumi.

Oh ya, tadi kujanjikan apa? Kesan ya? Hmmm. Menyenangkan. Mengherankan. Membuatku cekikikan geli atau menenangkan diri (padahal yang sedang kalut itu si Milea). Pokoknya kau musti baca, musti kenal siapa mereka. Mungkin ini kisah klasik dari jaman dulu, tapi apa kau bisa menemukannya di masa kini? Itulah gunanya nostalgia.

Yasudah. Kamu, kalian, selamat jatuh cinta ya. Bukan sama pacar, tapi sama Dilan!

ND


You May Also Like

0 komentar