“Kepala Sekolah nampar
dia, kubakar sekolah ini! Apalagi cuma Anhar”
Dari sekian quotes dan
kata-kata romantis yang bertebaran dalam novel ini, ucapan Dilan diatas yang
justru paling membuatku nge-fans pada Dilan. Dan maafkan jika tulisan ini tidak
seperti tulisan di post-post sebelumnya, terutama pada gaya bahasa. Ya, sungguh
terlambat membuat review tentang Dilan : Dia adalah Dilanku tahun 1990 disaat
mana buku ketiganya bertajuk ‘Milea’ sudah beredar luas di toko-toko buku. Tapi,
toh, Pidi Baiq menulis cerita yang terjadi 24 tahun lalu bukan?
Jujur, ini pertama
kali kubaca novel dari Pidi Baiq. Kesannya? Banyak. Tapi nanti dulu ya,
kuceritakan seperti apa novel yang telah membuat jutaan pembaca terutama wanita
(apalagi angkatan 90’an saat SMA) ingin pindah ke Bandung hanya demi bertemu
Dilan saat itu. Diambil dari sudut pandang Milea, bahkan hingga lembar
terakhir, Dilan masih tergambar cukup misterius. Apa yang dilakukannya bisa tak
terduga-duga. Pidi Baiq sendiri menulis novel ini seperti buku diary, tempat dimana Milea mengenangkan masa lalunya dengan Dilan.
Mau cinta, mau enggak. Dengar, ya,
hai, kamu yang namanya Dilan. Terseraaahh! Itu urusanmu! Emang gua pikiriiin!?
(Milea)
Gaya bahasa yang
santai membuat cerita mengalir dengan kesan menyenangkan untuk terus diikuti. Apalagi
ada ilustrasi-ilustrasi sederhana yang menggambarkan beberapa adegan penting. Perihal
karakter para tokoh, dapat kalian nilai bagaimana Akang Pidi membentuknya
sembari membaca lembar demi lembar. Ada banyak sudut-sudut kota Bandung yang
disebut di dalam novel, yang pasti kalau pembacanya orang Bandung asli akan
jadi baper. Kemudian membuat kita
membayangkan seperti apa syahdunya Bandung di 1990an itu.
Karena pembaca melihat
dari sudut pandang Milea, ya … sudah. Kuceritakan seperti apa Dilan itu., di mata Milea dan di mataku sebagai pembaca. Disebut
ganteng? Milea hampir tidak pernah mengatakannya. Puitis? Iya. Pandai melucu? Jelas. Dan seperti pelajar lain yang tergabung dalam geng motor, Dilan juga punya
penampilan serupa, tempat nongkrong yang sama dan berkelakuan hampir sama
dengan anak-anak nakal pada umumnya. Tapi bedanya, Dilan punya idealisme yang
tinggi. Ya, Dilan yang mengagumi pahlawan revolusioner. Yang kamarnya mirip
dengan perpustakaan saking banyaknya buku. Dilan yang punya seribu akal untuk
mengistimewakan Milea. Yang sayang dengan keluarga. Ah, Dilan.
Yakin, mereka yang
masa-masa SMA nya sudah terlewat, akan terbayang atau memaksa dirinya sendiri
untuk mengingat bagaimana masa SMA miliknya dulu. Tidak perlu bicara soal pesan
moral dalam novel ini, karena sepertinya sang penulis tidak memaksudkan untuk membuat
pembaca menggali makna. Novel ini, murni menceritakan apa yang dirasakan Milea,
dari Dilan dan untuk kita semua yang membacanya.
Kamu pernah
nangis?
Waktu bayi,
pengen minum.
Bukan, ih!
Pas udah besar. Pernah nangis?
Kamu tau
caranya supaya aku nangis?
Gimana?
Gampang.
Iya, gimana?
Menghilanglah
kamu di bumi.
Oh ya, tadi kujanjikan
apa? Kesan ya? Hmmm. Menyenangkan. Mengherankan. Membuatku cekikikan geli atau
menenangkan diri (padahal yang sedang kalut itu si Milea). Pokoknya kau musti
baca, musti kenal siapa mereka. Mungkin ini kisah klasik dari jaman dulu, tapi
apa kau bisa menemukannya di masa kini? Itulah gunanya nostalgia.
Yasudah. Kamu, kalian,
selamat jatuh cinta ya. Bukan sama pacar, tapi sama Dilan!
ND
0 komentar