Catper pendakian Gunung Lawu 3265mdpl
(part 2)
Rupanya cuaca tidak begitu bersahabat. Langit
kembali mendung dan kabut mulai menyelimuti bukit-bukit serta lereng gunung
Lawu sebelum maghrib tiba. Saya pun lantas pamit pada mas Bayu untuk duluan
masuk tenda. Dingin mulai terasa seiring kabut yang datang.
Saya hanya pesan, “Mas Bayu, nanti kalau
sunset nya bagus panggil aku yak.. “
“Siap !” dan saya pun meringsek masuk ke
tenda menyusul teman-teman yang lain.
Talang, Rian, Mustika dan Riska sudah
berselimut sb dan menyisakan satu ruang untuk saya. Awalnya saya hanya
menggunakan sleepingbag dan kemeja flannel serta bercelana pendek. Selang setengah jam,
saya dengan mas Bayu masuk ke tenda sebelah. Saya bangun, mencari-cari sarung
tangan dan kaus kaki. Setelah ketemu, segera dipakai dan kembali rebahan. Namun
lagi-lagi dingin semakin bertambah. Maka saya pakai buff mulai dari leher
hingga kempala dan hanya menyisakan celah di bagian mata. Belum cukup, saya
pakai jaket untuk melapisi bagian terluar. Nah, sekarang lebih baik dan cukup
hangat. Jadi kira-kira begini lapisan
kostum saya saat tidur : kaus dan celana pendek, kemeja flannel, kaus kaki dan
tangan, buff, jaket, terakhir sleeping bag. Baru saya akui, Lawu memang
benar-benar memiliki suhu yang amat dingin terlebih ketika malam datang.
Semakin malam, teman-teman semakin tak
nyenyak tidur. Riska yang di sebelah saya kadang menggigil. Maka saya dekap
saja supaya lebih hangat. Rian dan Mustika sibuk mencari pakaian hangat mereka.
Tak berapa lama, Talang bangun dan berpindah ke tenda mas Bayu. Mungkin di
tenda ini sudah terlalu sempit atau saya yang kebanyakan tingkah sehingga mengganggu
tidurnya. Jelang tengah malam, saya sudah terlalu mengantuk untuk ikut
menimbrung pembicaraan Mustika dan Rian yang entah sibuk saling memasangkan
pakaian hangat atau hanya bergumam tentang dingin yang amat sangat. Saya jatuh
tertidur hingga subuh datang.
Alarm handphone saya berdering pukul 04:30 WIB. Mau tak mau saya bangun
mencari bodypack tempat saya
menyimpan barang-barang penting itu. Alarm hanya saya tunda-tunda saja agar tidak
kesiangan. Setiap lima menit alarm itu berbunyi sampai pukul 05:30 WIB. Akhirnya
saya benar-benar bangun karena ‘panggilan alam’. Saya melepas jaket, kaus
tangan dan kaus kaki. Beranjak keluar tenda untuk melihat suasana.
Pagi itu langit sangat cerah, pemandangan
dari pos 3 sudah cukup bagus. Saya cukup berisik saat merapikan barang sehingga
yang lain ikut bangun. Mustika protes karena saya tidak membangunkannya lebih
awal. Kami segera merapikan barang, packing
ulang dan membongkar tenda. Setelah semua rapi, barulah kami membuat sarapan. Di tenagh-tengah menyiapkan sarapan, kami saling bercerita betapa dinginnya semalam. kata mas Bayu, semalam suhunya mencapai nol derajad celcius. Pantas saja... kami menggumam.
Menu sarapan kali ini adalah bubur dan
bakso. Ah, kalau di gunung toh makan apa saja sudah bersyukur. Meski Talang
terlalu banyak menuang air hingga bumbu tidak terasa, tapi kami makan dengan
cukup lahap. Selesai sarapan, kami bersiap untuk memulai kembali perjalanan.
Beberapa puluh meter dari pos, kami
menemui sumber mata air. Ada genangan air yang terus terisi oleh aliran air
dari celah batu. Kami mengambil dua botol untuk persediaan. Dari pos 3 menuju
pos 4 jalanan masih sama, cukup landai dan ada jalur evakuasi. Kami kembali
memilih jalur evakuasi untuk mengejar waktu, karena kami terlalu siang memulai
perjalanan.
Kami sampai di pos 4 pukul 14:00 WIB. Pos
4 cukup luas dan hanya ada rombongan kami di sana. Saya segera merebahkan diri
di pelataran pos. Begitupun yang lain, bahkan ada yang langsung tidur-tiduran. Saya
dan mas Bayu bergantian ambil foto. Talang dan Riska main entah apa, sembari
duduk di rerumputan. Rian dan Mustika mengobrol di dekat edelweiss depan jalan
setapak.
Kami tidak berlama-lama di pos 4, sebab
lapar sudah mendera. Sudah terbayang-bayang nasi pecel dan teh jumput hangat
mbok Yem yang terkenal di antara para pendaki itu. Maka kami bergegas menuju pos 5 yang dengan
kata lain adalah puncak Hargo Dalem. Dari jalanan antara pos 4 menuju Hargo
Dalem, kita dapat melihat puncak Hargo Dumilah. Puncak Hargo Dumilah adalah
puncak yang paling tinggi di gunung lawu.
Dengan jalur yang cukup melelahkan, kami
sampai di puncak Hargo Dumilah. Di sana ada makam dan tempat untuk besemedi. Ada
bangunan permanen dan semi permanen yang di jaga oleh penduduk gunung Lawu. Kami
menyempatkan diri mampir, melihat petilasan. Tak lama, segera kami menuju
warung mbok Yem. Kecewa, karena ternyata mbok Yem sedang mantu, yaitu menikahkan anaknya. Jadi sekarang ia sedang dalam
perjalanan turun gunung.
Harapan kami beralih pada warung yang
ada di bawah puncak Hargo Dumilah, sekitar lima belas menit dari warung mbok
Yem. Kalau tidak salah namanya warung mbok Nah. (koreksi ya kalau salah). Warung
ini letaknya ada di samping sendang Drajad. Wah, siapa pendaki gunung Lawu yang
tidak pernah dengar sendang ini.
Begitu sampai di sendang Drajad
sekaligus warung mbok Nah, kami segera meemsan nasi pecel. Namun kami harus
menunggu karena nasinya belum matang. Sembari menunggu, kami merundingkan siapa
saja yang akan ke puncak Hargo Dumilah. Saya tentu saja mau, karena penasaran
dan merasa fisik masih mumpuni. Mustika dan Riska juga bersemangat untuk
kesana. Karena Talang enggan ikut dan memilih menunggu di warung sekaligus
menjaga keril kami yang summit, maka
mas Bayu juga memutuskan untuk menunggu di warung saja bersama Talang.
Selang beberapa menit setelah
perundingan selesai, nasi pecel pesanan kami datang. Rasanya benar-benar makan
enak setelah kemarin hanya makan seadanya. Kami makan dengan lahap tanpa banyak
mengobrol.
Saya, Mustika, Rian dan Riska siap naik
ke puncak setelah kenyang dan membawa bekal yang cukup. Jalur menuju puncak Hargo Dumilah cukup
jelas, semakin mendekati puncak ada jalur bebatuannya. Begitu melihat bendera
di ujung tugu puncak, saya menarik napas lega. Ternyata dari sendang Drajad
menuju puncak Hargo Dumilah hanya membutuhkan waktu lima belas menit.
Sayang sekali, kami sampai di sana hari
sudah sore, dan kabut ada di mana-mana. Pemandangan di atas awan sangat sulit
di dapat. Jadi kami harus berpuas diri dengan secercah cahaya di bagian barat. Kami
sampai di puncak pukul 17:00 WIB. Wah, harus segera turun jika tak ingin
kemalaman sampai di bawah.
Setelah kami ber-empat kembali ke
warung, Talang dan mas Bayu segera ikut bersiap-siap untuk melanjutkan
perjalanan turun. Untuk menuruni gunung Lawu ini kami memilih jalur cemoro
Sewu. Sebab hujan semalam pasti membuat kontur tanah di jalur cemoro Kandhang
menjadi becek dan akan menyulitkan perjalanan turun kami.
Sedangkan jalur cemoro Sewu di dominasi
dengan jalur tangga dari bebatuan, tentunya akan lebih aman dan memudahkan
langkah kami menuruni gunung. Maka kami mulai turun melalui jalur cemoro Sewu.
Dari sendang Drajad menuju pos 5, pemandangannya
sangat bagus. Lebih luas dari pada pemandangan di jalur cemoro Kandhang. Cuaca di
sekitar gunung Lawu memang sulit di prediksi. Belum ada satu jam yang lalu kami
menmui mendung di Puncak, kini sepanjang jalur turun langit cerah. Kami mulai
bertemu dengan pendaki-pendaki yang naik melalui jalur ini.
Langit mulai gelap ketika kami sampai di
pos 4, saat itu sekitar pukul 18:30 WIB. Kami mengeluarkan senter dan headlamp masing-masing. Ketika langit
benar-benar telah gelap pekat, kami mulai mengatur posisi. Berjalan paling
depan adalah Talang, kemudian Mustika, Riska, Rian, saya dan mas Bayu sebagai sweeper.
Gerimis turun sedikit-sedikit dan langit
kelihatan mendung. Kami khawatir akan terkena hujan dalam situasi begini. Maka kami
membatasi waktu istirahat untuk mengejar waktu. Awalnya, kami merasa baik-baik
saja dan masih dalam kondisi cukup kuat. Namun rupanya Riska mulai kelelahan
dan kaki-kaki saya serta Mustika mulai tidak stabil …
(bersambung)
Salam,
Naredita
#NulisRandom2015 #Day4