Escape to Surabaya & Madura (Chapter 2)
Escape Surabaya & Madura (chapter 2)
Akhirnya kami sampai di daratan ibu kota Jawa Timur lagi. Karena Tia
(orang yang kost-annya kami tumpangi saat di Surabaya) masih berada di
Sidoarjo, jadi saya dan Bena memutuskan ntuk berkeliling Surabaya saja dulu.
Kami tidak tahu jalan, hanya mengikuti rambu lalu lintas yang ada. Kami
berpanas-panas melewati kantor walikota, taman-taman dan stasiun Gubeng.
Karena
haus, Bena menyarankan untuk berhenti pada seorang bapak penjual es cao. Kami
juga tak tahu apa itu es cao. Tapi karena kami berdua memang gemar kuliner, jadi
ya dicoba saja. Rupanya es cao ini minuman yang isinya hanya berupa cao. Ya,
sejenis agar-agar berwarna hitam yang sering ada dalam semangkuk es buah, es
campur atau minuman pembuka puasa. Tidak menggunakan sirup sama sekali, bahkan
tidak berwarna. Tapi rasanya manis, asli menggunakan gula pasir. Satu gelas es
cao dihargai Rp 2000,-. Setelah reda rasa hausnya, kami lanjutkan perjalanan
sembari tengok kanan-kiri untuk menemukan tempat makan siang.
Saat berbelok ke sebuah jembatan, rupanya di sisi kanan kami ada monumen
kapal selam. Bena histeris, karena ia memang penasaran ingin kesana. Yasudah,
saya belokkan motor menuju tempat parkir yang ada di trotoar depan monumen
tersebut. Untuk masuk ke monumen kapal selam harga tiketnya sebesar Rp
8000/orang. Monumen kapal selam ini adalah museum yang ditampilkan di dalam
kapal selam itu sendiri.
Kapal selam asli bernama KRI PAsopati yang digunakan
oleh TNI AL dalam Operasi Trikora pada tahun 1962. Di dalamnya kita dapat
meihat barak-barak para prajurit dan ruangan pengoperasian mesin kapal. Ada
banyak foto-foto para awak kapal, kapten, dan kegiatan mereka saat menjalankan
misi. Ruangan di dalam kapal ber-ac, sehingga tidak terlalu pengap. Dibagian
luar, terdapat kolam renang dan taman denganbangku-bangku yang bisa digunakan
pengunjung untuk beristirahat. Pada akhir pekan, biasanya juga ada pertunjukan
reog Ponorogo. Sayang sekali, saat kami datang pertunjukan reog itu baru saja
selesai.
Begitu kami keluar dari kawasan monumen, rupanya Tia sudah sampai di
Surabaya dan menyusul kami. Jadi kami memutuskan untuk singgah dulu ke tempat
kost Tia untuk menaruh barang bawaan yang lumayan berat. Kost Tia tidak jauh dari kampus ITS,
karena Tia berkuliah di ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya.
Sampai di kos, kami bertiga rehat sejenak dan mengatur list tempat yang akan dikunjungi. Bahkan saya sempat mencuci
baju-baju kotor yang dipakai saat perjalanan Jakarta-Surabaya-Madura kemarin.
Lumayan, setidaknya dalam perjalanan ke Solo nanti saya tidak membawa baju
kotor di dalam ransel.
Dua jam berada di kost, kami segera bersiap-siap untuk pergi. Sekarang
giliran saya yang memilih menu makan siang, dan saya memilih bakso. Maka kami
berhenti di depan sebuah gerobak bakso keliling.
“Pakai penthol aja atau campur mbak?” tanya mas-mas penjual baksonya.
“Hah? Penthol?” saya segera melirik pada tulian di gerobak. Bacanya :
Bakso Penthol. Saya sedikit bingung, sampai akhirnya Tia menjelaskan bahwa di
Surabaya, bulatan daging dalam semangkuk bakso itulah yang disebut penthol.
Ohh… begitu. Semangkuk bakso keliling ini dihargai dengan Rp 7000,-. (namun
belakangan saya baru menyadari bahwa di berbagai daerah orang juga sering
menyebutnya ‘penthol bakso’).
Setelah selesai makan, kami bergegas menuju arah Kenjeran, yang mana
sebenarnya itu adalah bibir kota Surabaya yang mendekati Laut Jawa, searah
dengan datangnya kami dari Madura tadi pagi. Sasaran kami adalah Patung Buddha
di daerah pantai Ria Kenjeran. Untuk masuk ke area ibadah sekaligus wisata ini,
kita harus memasuki area Kenjeran Park yang berisi taman-taman dan wahana
permainan. Harga tiket bervariasi antara pengunjung yang berjalan kaki,
menggunakan motor maupun mobil.
Setelah bertanya pada petugas, rupanya patung Buddha ada di ujung, dekat
dengan pantai. Kami sampai di area parkir, tepatnya seberang pintu gerbang
dimana terdapat patung Buddha tersebut. Wow, patung Buddha nya sangat besar,
berwajah empat dan bertangan delapan. Patung itu berwarna emas, serta ada juga
patung Ganesha yang berwarna emas pula. Setelah puas berkeliling, kami keluar
dan bertemu dengan seorang bapak-bapak.
“Mbak, dari mana?” sapa beliau.
“Jakarta pak,” Bena menyahut.
“Kalau mau view foto yang bagus, silahkan ke patung Dewi Kwan Im. Ada di
seberang sana. Wah, pokoknya gini.” Kata si bapak sambil menyodorkan jempol
meyakinkan kami bertiga.
“Oh ada patung Dewi Kwan Im juga pak? Disana ya? Hmmm.. motor bisa
dititip sini kan?” saya memberondong pertanyaan.
“Bisa, bisa. Titip aja disini mbak.” Jawab si bapak sambil tersenyum.
“Terimakasih pak..” Tia menunduk sembari mengajak kami segera menuju ke arah
patung karena mendung di langit Surabaya mulai pekat.
Kami memasuki gerbang yang juga bernuansa merah. Kemudian kami sadar
bahwa didalamnya adalah sebuah kelenteng. Semerbak harum keluar bersama asap
dari dalam bangunan. Kami lewat samping, dan terus berjalan menuju pantai.
Itulah dia, selat Madura dibalik patung Dewi Kwan Im dan dua naga di
kanan kirinya. Saya sempat melongo sebentar, antara norak dan kagum. Kami
menghampiri tepian daratan yang berbatasan langsung dengan selat Madura.
Jembatan Suramadu terlihat kecil disebelah timur laut. Yang menyita perhatian
saya bukan perairannya, namun patung yang begitu besar ini. Ekor naga menjulang
ke arah utara dan selatan,sementara kepala mereka saling bertemu dibawah patung
Dewi Kwan Im. Tak lama, hujan turun. Kami masih berteduh dibawah patung,
sembari melihat perahu-perahu kecil yang berbalik arah menuju daratan.
Pohon-pohon mangrove tumbuh disekitar pantai, dan burung-burung kecil terbang
diatara ranting kecilnya.
Setelah hujan reda, kami sempatkan minum es kelapa muda didepan gerbang.
Di sini, banyak penjaja makanan. Mulai dari makanan berat hingga cemilan
ringan. Ketika hujan benar-benar berhenti, barulah kami menuju sasaran kami
selanjutnya, Museum Tugu Pahlawan.
Waktu sudah pukul 5 sore ketika kami sampai di pelataran Tugu Pahlawan,
dan sepertinya gerbang masuk sudah ditutup.
“Mau kemana mbak?” tanya salah satu penjaga.
“Mau masuk pak, lihat-lihat di dalam.”
“Darimana memang?”
“Jakarta.”
“Hmm… sebenarnya sudah tutup, tapi karena mbaknya sudah jauh-jauh kesini,
yasudah saya bukain. Tapi jangan lama-lama ya…”
“Wah, makasih ya pak! Iya sebentar aja.”
Kami pun masuk dan berkeliling pelataran Tugu Pahlawan. Museumnya sendiri
sudah tutup, jadi kami akan mengunjunginya besok. Saya memandangi tembok yang
sedikit rusak dan ada coretan disana-sini. Rupanya tembok ini adalah tembok
asli yang ada sejak jaman penjajahan dulu, dimana Surabaya adalah salah satu
latar dari perjuangan para pahlawan Indonesia. Maka berbagai coretan, ukiran
dan bekas-bekas tanda semangat para pahlawan diabadikan dan diperthankan
keasliannya.
Setelah selesai dengan Tugu Pahlawan, kami bergegas mencari isi perut. Tia
mengajak kami ke rumah makan Mie Akhirat. Wow, kok serem ya? Hehe. Ternyata,
mene-menu di sana bertema ‘surga’ dan ‘neraka’. Surga untuk makanan yang tidak pedas
dan Neraka untuk makanan yang pedasnya ampun-ampunan.
Menu surga didominasi warna putih dan Neraka warna hitam. Untuk menu
Neraka, ada tingkatan / level pedasnya. Misalnya cabai 1,2,3 dan seterusnya. Saya
pesan nasi goreng surga dan Bena pesan mie neraka kuah. Untuk minumannya juga
tersedia berbagai macam jus buah, milkshake, dan variasi minuman lainnya. Harga
makanannya antara Rp 4.000 – Rp 20.000 serta minuman antara Rp 4.000 – Rp 12.000
. Bagaimana? Cukup bersahabat kan dengan kantong backpacker seperti kami J
Setelah kenyang, kami mampir ke Mall Royal Plaza (asli, saya dan Bena
tidak ada niat sama sekali ke mall) untuk membeli Pie 33 kesukaan Tia. Meskipun
enggan masuk mall karena tampang yang sudah amburadul, toh kami tegiur juga
dengan pie yang katanya memiliki banyak varian rasa itu.
Pie 33 memiliki varian rasa keju, tuna, apel, kacang hijau dan masih
banyak lagi. Selain pie, Pie 33 juga menjual pizza mini dan stik keju. Harganya
berkisar antara Rp 3.500 – Rp 8.000 per potong. Hmm… lagi-lagi camilan menarik
untuk bergadang nanti malam.
Belum puas dengan pie, rupanya Bena masih mencari-cari brownies Libby. Tempatnya
tidak jauh dari Stasiun Gubeng. Brownies nya juga banyak variasi misalnya keju,
kismis, meises dan lain-lain. Ada yang awet hingga beberapa minggu, ada juga
yang hanya beberapa hari. Selain brownies kotak, ada juga kue lain red velvet, cheese
cake, soft cake dan banyak lagi. Brownies Libby cocok untuk oleh-oleh dari
Surabaya.
Tentengan kami sudah lumayan banyak, maka kami kembali ke kost-an Tia. Setelah
mandi dan mencuci baju-baju kotor yang kira-kira akan kering besok sore, kami
mengobrol sembari menikmati jajanan yang kami beli. Tak berapa lama Bena sibuk
dengan pekerjaannya dan tenggelam di depan laptop. Tia asik menelepon pacarnya
sembari berguling-guling di kasur. Saya, dengan kalem dan terkantuk-kantuk
membaca novel dan meringkuk di dalam sleeping bag. Sedikit heran, Surabaya
siang hari begitu panas namun saat malam di kost Tia cukup dingin meski tidak
menggunakan AC.
Memang dasar niat hanya sekedar niat, rencana untuk bangun pagi dan
memulai jalan-jalan lebih awal hanya sekedar wacana ketika saya bangun paling
awal jam tujuh pagi sementara mereka berdua masih meringkuk nyaman. Saya
menunggu mereka bangun sembari mandi dan packing karena akan bertolak ke Solo
nanti sore.
Kami baru keluar kamar kost jam sebelas siang. artinya, kami bukan lagi
cari sarapan namun makan siang. Kami
menuju warung makan yang menjual menu bebek item. Maksudnya adalah bebek yang
diolah dengan bumbu rica-rica hitam. Setelah kenyang, kami bergegas menuju destinasi
pertama hari ini : Museum Sampoerna.
Museum Sampoerna memiliki Galeri yang unik, dimana ada juga ruangan
tempat para pekerja membuat rokok dari label Sampoerna. Berbagai macam lukisan
ditempel di dinding, karung-karung terbuka berisi berbagai jenis tembakau dari
beberapa daerah menguapkan bau harum ke seluruh penjuru ruangan. Alat-alat
untuk membuat rokok pada tempo dulu dipajang pada ruang belakang.\
Di lantai
dua, ada galeri shop yang menjual bermacam merchandise
dari Sampoerna. Mulai dari kaos, topi, selendang, canting untuk membatik dan
banyak lagi.dari lantai dua inilah kita dapat melihat melalui kaca besar
(seukuran tembok dari ujung genting hingga alas bangunan) ke bawah, dimana
ruangan para pekerja sedang memproduksi rokok. Hemmm cukup beredukasi ya J
Berkunjung ke Museum Sampoerna sepenuhnya gratis kecuali jika kita ingin
berbelanja di sana. Tiket masuk dan parkir kendaraan tidak dikenakan biaya. Pelayanan
para penjaga nya juga ramah dan menyenangkan.
Setelah puas dengan Museum Sampoerna, kami menuju Museum Tugu Pahlawan
yang kemarin belum dapat kami kunjungi. Tiket masuk museum ini Rp 5.000,- per
orang. Kami menyusuri lorong-lorong yang digantungi lukisan dan foto-foto pada
masa perjuangan dahulu. Kemudian ada eskalator yang menuju ke lantai bawah. Rupanya
di lantai dasar ini ada patung-patung dan benda peninggalan para pahlawa dan
tokoh penting. Ada juga diorama (rekaman suara) pidato Bung Tomo. Saya rasa
kita semua tahu mengenai pidato berapi-api ini saat membaca buku pelajaran IPS
saat SD atau SMP.
Bena memencet tombol yang ada di sudut dekat patung Bung Tomo, dan
seketika terdengarlah pembacaan pidato beliau yang penuh semangat. Kami yang
ada di situ diam, mendengarkan dengan seksama. Merinding sekaligus kagum, kami
menganguk-angguk ringan saat pidatonya selesai.
Naik lagi ke satu lantai di atas namun pada ruangan yang berbeda dari
sebelumnya, kami mendapati lagi benda-benda peninggalan yang bernilai sejarah
amat tinggi dan dua ruangan diorama. Di lantai ini suasana lebih ‘singup’
(semacam suasana sepi yang aneh) karena dua faktor : museum memang sedang sepi
pengunjung dan benda-benda disana seperti menggambarkan pada kami bagaimana
mereka dahulu dipakai.
Kami disapa oleh seorang bapak penjaga museum,
“Dari mana mbak?” sapa si Bapak ramah.
“Jakarta pak. Hehe..” Bena menjawab.
“Wah, lagi liburan atau bagaimana?”
“Iya pak kebetulan sedang libur, pengen main ke Surabaya.”
“Hemm.. jauh-jauh kesini, mau nonton film perjuangan ngga?”
“Wah, dimana tuh pak?”
“Ada di lantai bawah. Mari, saya antarkan”
Lagi-lagi bonus dari ramahnya penduduk Surabaya karena kesan ‘duh jauh-jauh
ke Surabaya’ .
Kami duduk di sebuah ruangan gelap, menatap layar yang memperlihatkan
film serangan-serangan Belanda terhadap Indonesia khususnya di kota Surabaya. Tembakan-tembakan
dan teriakan para prajurit terdengar diantara pembacaan narasi cerita.
Karena film itu cukup lama, kami terpaksa meninggalkan ruangan lebih dulu
karena sudah jam dua siang. kami harus bergegas ke satu tempat lagi sebelum
saya pergi ke Solo.
Sura dan Baya. Ikan Hiu dan Buaya. Itulah ikon ibukota Jawa Timur ini. Rasanya
tak afdol jika tidak menenui patung nya secara langsung. Memang sedikit
kekanakan, namun rupanya keinginan mengunjungi ikon kota tersebut tetap kami
paksakan hari itu.
Sebenarnya, untuk mengunjuni si Sura dan Baya ini ada setidaknya dua
tempat. Namun Tia hanya tahu jalan ke salah satu tempat, yaitu kebun binatang
Surabaya. Jadilah kami kesana walapun cukup jauh.
Kebun binatang Surabaya ramai dengan pengunjung dan pedagang makanan. Kami
hanya berfoto sebentar kemudian melanjutkan perjlalanan untuk mengantar saya ke
Terminal Purbaya.
Terminal Purbaya adalah terminal besar dan tempat singgah bus-bus antar
kota dan provinsi. Bena menyarankan saya untuk menunggu di depan gerbang saja. Tak
lama, bus jurusan Surabaya-Semarang itu keluar dari terminal. Saya buru-buru
naik. Untuk ke Solo dari Surabaya membutuhkan waktu tujuh jam dan tiket seharga
Rp 30.000,- .
Jabat tangan terimakasih saya untuk Tia dan Bena, adalah tanda lain dari ‘sampai
bertemu lagi’.
Terimakasih Surabaya, Madura dan semua tempat-tempat luar biasa yang
tersimpan di dalamnya.
Salam ,
Naredita.
Jalanan Madura menuju Suramadu
Patung Budha
Patung Ganesha Perairan Selat Madura
Patung Dewi Kwan Im Tugu Pahlawan
Mobil Bung Tomo
Monumen Proklamasi
Ruangan di dalam Museum Tugu Pahlawan
Ruangan dalam Muesum Sampoerna
Sura dan Baya
Meet :
Brownies Libby at >> http://libbybrownies.com/home.php
Mie Akhirat at >> http://mieakhirat.com/
0 komentar