Dunia Milik Berdua (flash fiction)
Dunia Milik Berdua
(flash fiction)
Oleh : Nared Aji
Payung
bening itu menaungi si gadis dengan tabah. Begitupun hati si gadis, menunggu
sembari mengayunkan kakinya yang mungil
dan beralas sepatu merah muda. Rambutnya hitam samar-samar cokelat tua , sedikit
berombak jatuh ke bahu.
Hari
telah melewati siang, dimana matahari tak lagi tepat diatas ubun-ubun. Kini ia
condong ke barat, semakin gelap karena awan pekat menghalangi hangat sinarnya.
Pun begitu, bayangan yang muncul dari belakang si gadis tetaplah terlihat. Ia
menoleh, tersenyum hampir-hampir menampakkan giginya. Pria itu kini berjalan
memutar, bukannya melompati bangku itu untuk bersebelahan dengan gadisnya.
“Kau kemana saja?
Hujan hampir berhenti dan kau baru datang.”
“Maaf, aku terlalu
sibuk tadi, pekerjaanku banyak sekali.” Si pria tersenyum menyiratkan maaf.
Membuang nafas,
“Sudahlah. Kau mau makan dimana?” si gadis menutup payungnya karena gerimis
nyaris hilang.
“Aku sedang tak
ingin makan. Kau saja yang memilih..”
“Aku juga tak
lapar, bagaimana kalau kita ke café yang di ujung jalan sana itu?”
“Yang mana?”
“Yang waktu kau merayakan
pekerjaan barumu.”
“Oh.. ya. Disana
boleh juga. Kita bisa bercakap-cakap sambil minum cappuccino dengan krim
melimpah. Oh .. chesse cake nya juga kuridukan” si pria bersemangat menggandeng
gadisnya.
Udara
menjadi dingin karena setengah hari tadi hujan mengguyur tanpa henti.
Kaca di café itu
berembun dan dua sejoli ini begitu
menikmati obrolan sembari berusaha mencerna permainan akustik yang lamat-lamat
dimainkan oleh perempuan setengah baya di sudut ruangan, dengan pencahayaan
lampu kuning lima belas watt.
Orang-orang
yang hilir mudik dibalik kaca tempat mereka berdua duduk sesekali memandang,
kadang satu detik dan ada yang memandang lebih dari tiga detik. Sejoli ini
tetap tak menghiraukan, meski café bertambah ramai karena hujan kembali turun.
Mereka tetap menikmati obrolan, sesekali saling mencubit lengan atau
mengacak-acak rambut lawan bicaranya.
Gerakan-gerakan
tangan mereka senantiasa lincah, tak lelah. Yang terekspresi dari bibir mereka
hanyalah senyum, tawa, dan mimik wajah lainnya. Mata keduanya berbinar, seolah
udara dingin tak mengusik sama sekali.
Obrolan
itu berlangsung tanpa suara, tanpa latar musik akustik, tanpa terganggu
ramainya pengunjung, dan tak diselingi gelak tawa. Bibir mereka terkatup rapat meski kadang tersenyum. Mereka haya berekspresi
secukupnya, bicara dari tangan ke tangan, mata ke mata, hati ke hati.
Dengan takdir kelu
itulah mereka percaya yang orang bilang : kalau cinta, dunia milik berdua.
0 komentar