Dunia Milik Berdua (flash fiction)

by - 07.42.00

Dunia Milik Berdua (flash fiction)
Oleh : Nared Aji


Payung bening itu menaungi si gadis dengan tabah. Begitupun hati si gadis, menunggu sembari mengayunkan kakinya yang  mungil dan beralas sepatu merah muda. Rambutnya hitam samar-samar cokelat tua , sedikit berombak  jatuh ke bahu.

Hari telah melewati siang, dimana matahari tak lagi tepat diatas ubun-ubun. Kini ia condong ke barat, semakin gelap karena awan pekat menghalangi hangat sinarnya. Pun begitu, bayangan yang muncul dari belakang si gadis tetaplah terlihat. Ia menoleh, tersenyum hampir-hampir menampakkan giginya. Pria itu kini berjalan memutar, bukannya melompati bangku itu untuk bersebelahan dengan gadisnya.

“Kau kemana saja? Hujan hampir berhenti dan kau baru datang.”
“Maaf, aku terlalu sibuk tadi, pekerjaanku banyak sekali.” Si pria tersenyum menyiratkan maaf.
Membuang nafas, “Sudahlah. Kau mau makan dimana?” si gadis menutup payungnya karena gerimis nyaris hilang.
“Aku sedang tak ingin makan. Kau saja yang memilih..”
“Aku juga tak lapar, bagaimana kalau kita ke café yang di ujung jalan sana itu?”
“Yang mana?”
“Yang waktu kau merayakan pekerjaan barumu.”
“Oh.. ya. Disana boleh juga. Kita bisa bercakap-cakap sambil minum cappuccino dengan krim melimpah. Oh .. chesse cake nya juga kuridukan” si pria bersemangat menggandeng gadisnya.

Udara menjadi dingin karena setengah hari tadi hujan mengguyur tanpa henti.
Kaca di café itu berembun  dan dua sejoli ini begitu menikmati obrolan sembari berusaha mencerna permainan akustik yang lamat-lamat dimainkan oleh perempuan setengah baya di sudut ruangan, dengan pencahayaan lampu kuning lima belas watt.

Orang-orang yang hilir mudik dibalik kaca tempat mereka berdua duduk sesekali memandang, kadang satu detik dan ada yang memandang lebih dari tiga detik. Sejoli ini tetap tak menghiraukan, meski café bertambah ramai karena hujan kembali turun. Mereka tetap menikmati obrolan, sesekali saling mencubit lengan atau mengacak-acak rambut lawan bicaranya.

Gerakan-gerakan tangan mereka senantiasa lincah, tak lelah. Yang terekspresi dari bibir mereka hanyalah senyum, tawa, dan mimik wajah lainnya. Mata keduanya berbinar, seolah udara dingin tak mengusik sama sekali.

Obrolan itu berlangsung tanpa suara, tanpa latar musik akustik, tanpa terganggu ramainya pengunjung, dan tak diselingi gelak tawa. Bibir mereka terkatup rapat meski kadang tersenyum. Mereka haya berekspresi secukupnya, bicara dari tangan ke tangan, mata ke mata, hati ke hati.


Dengan takdir kelu itulah mereka percaya yang orang bilang : kalau cinta, dunia milik berdua.

You May Also Like

0 komentar