Explore Pacitan (Part 2)
Kemarin sampai mana ya? Oiya Klayar ya. Nah setelah dari Klayar yang
sukses bikin gosong kulit itu, kami menuju ke pantai Ngiroboyo. Sayang sekali,
jalan masuk ke pantai ini sungguh penuh perjuangan dan tantangan. Terutama
untuk yang bawa mobil, karena jalanannya sempit banget. Ada bagian jalan yang
kanan kirinya jurang, jadi kalau papasan sama mobil yang lain nggak tau harus
gimana alias maju kena mundur kena. Tapi katanya, ada jalan lain selain jalan
yang kemarin kami lewati dan konon katanya lebih lebar. Nggak tau hoax atau
beneran. Biasa, awal tahun banyak hoax. Hehe.
Intinya akses masuk ke pantai Ngiroboyo masih kurang mulus, tapi
kalian akan disuguhi pemandangan yang yahud dari atas bukit karena jalanan yang
memang menurun. Jangan berharap pasir putih dan air biru yang melambai untuk
dimainkan. Ngiroboyo memiliki pasir yang dominan hitam dan air yang tidak
terlalu bersih juga. Tapi entah kenapa, ya bagus aja gitu. Gue sendiri enggan
turun ke bibir pantai karena ampun deh panasnya nggak bisa ditawar lagi sama
sun block. Jadi kami sekalian makan siang aja di warung kecil yang ada di pinggir pantai. Ya seadanya sih, kami pesan
ikan tuna bakar (katanya itu tuna, tapi gue gak bisa bedain juga sama ikan yang
lain karena gak terlalu suka seafood). Juga orek tempe dan yang paling nagih ya
sambelnya yang pedes itu sebagai penolong rasa ikan yang entah kenapa kurang
gurih. Tapi tetep, rasanya nikmat aja gitu. Haha.
Kembali pada keindahan yang bisa kalian temukan di Ngiroboyo. Jalan
terus sampai ke pojok, kalian akan menemukan muara sungai yang langsung melepas
airnya ke lautan. Ini mirip-mirip sama pantai Baron-nya Jogja sih ya, cuma
kalau di Baron kan muaranya bisa buat renang-renang gitu, tapi kalau disini
sepertinya dalam jadi nggak ada juga pengunjung yang nyebur atau sekedar main
air. Airnya tampak dominan ke hijau mungkin juga karena efek pantulan tanaman
dan pohon-pohon yang tumbuh di tebing-tebing karang di kanan kiri sungai. Ada
banyak kapal-kapal di sana, yang rupanya memang disewakan untuk menyusuri sungai.
Di sini, gue inget tentang teman yang pernah cerita pengalamannya ke sungai
maron. Dari tampilannya, gue yakin kalau ini adalah sungai yang sama.
Kami memutuskan untuk mencoba dan menyewa 3 kapal. Seharusnya
penumpang menggunakan rompi pelampung tapi karena habis, ya kami tetap naik
karena menurut abang-abangnya cukup aman. Satu kapalnya muat 6-7 orang dan
dihargai 100ribu tiap satu kali perjalanan PP. Saat kapal mulai berjalan,
mulailah wawancara gue ke si abangnya untuk memastikan beberapa hal.
“Mas, ini tarifnya berapa per kapal?”
“100 ribu mbak.”
“Itu kapal lain pakai pelampung, kok kita engga?”
“Abis sih mbak soalnya.”
“Oh. Terus ini sungai dalemnya berapa meter mas?”
“Kalau yang di sini (saat itu sekitar seperempat perjalanan) yaa 2,5
meter lah kira-kira”
“Eh iya, ini sungai Maron kan mas?”
“Bukan mbak. Itu beda lagi. Ini sungai warna.”
“Tapi mas, temen saya pernah kesini, naik kapal begini juga terus
namanya sungai Maron gitu.”
“Beda lagi mbak, kalau Maron di sana (nunjuk ke satu arah), beda sama
yang ini tapi ya ngalirnya kesini-sini juga sih.”
“Masa sih?” (masih ngeyel)
“Iya.”
“Mas, ini sebelah kanan kirinya hutan ya?”
“Yang kiri ini ada kampung rada ke dalem, kalau yang di kanan sana sih
hutan mbak.”
“Oh… panjang perjalanan kita ini berapa KM mas?”
“PP 3 kilometer mbak.”
“Mayan yha.”
Nah setelah itu gue memutuskan untuk percaya aja sama apa yang di ceritain si mas. Sungai ini bener-bener KW-an nyaAmazon sih gue rasa. Hehe.
Kanan kirinya tampak lebat hutan tang dominasi pohon kelapa. Ada beberapa
mangrove juga tapi nggak banyak, terus ada aliran sungai-sungai kecil gitu.
Beberapa pinggirannya malah ada juga yang berupa pasir, seorah-olah pantai
versi mini. Pokoknya sepanjang perjalanan bolak-balik kalian akan disuguhi
pemandangan hijau dan gak usah takut kepanasan, karena rindang kok berkat
pohoon-pohon yang ada di pinggiran sungai.
Setelah selesai di Ngiroboyo. Kami kembali pulang ke villa karena para
krucil udah kecapean (yang gedenya juga sih). Setelah sampai villa, gue adalah
penghuni kamar para gadis yang pertama mandi. Lengket bener seharian ketemu
laut. Sambil menunggu hujan berhenti, gue duduk santai aja di teras. Jam 8
malam, baru hujan benar-benar berhenti. Untuk makan malam kami butuh cuaca
cerah, karena nggak makan di cottage lagi tapi mau ke luar. Sepertinya sih mau
ke alun-alun. Setelah sampai di TKP, kami pun terheran-heran karena di
alun-alun pun nggak ada yang jual makanan berat. Rata-rata jual minuman atau
makanan ringan seperti wedangan gitu. Bahkan, kami sempat muterin alun-alun 2
kali untuk memastikan apakah ada tenda penjual makanan. Ternyata, nihil.
Walhasil kami pasrah dan memutuskan untuk berpencar saja cari makanan
yang diminati masing-masing. Para sepupu mempilih untuk makan di resto
terdekat, yang sedihnya juga beberapa mnu sudah habis. Ya pokoknya sekali lagi,
kalau keluar untuk cari makan harus sabar dan jangan kemaleman. Ini bukan
Jakarta yang keluaran kosan jam 2 pagi ada tukang nasi goreng. Setelah makan,
kami kembali ke villa dan tidurrr karena besok akan check out. Nggak ada
main-main uno lagi soalnya males mikir.
Paginya, kami sarapan di resto Sea View yang memang dimiliki cottage
ini. pantai Teleng Ria pagi-pagi begini memang lebih sedap dipandang, karena
masih sepi apalagi sambil nyeruput kopi di bale-bale. Kalian juga bisa jalan
santai penyusuri bibir pantai tanpa terganggu pengunjung kecuali mereka yang
juga menginap di cottage. Sepagi itu sudah ada mamang andhong juga, jadi kalau
malas jalan atau pengen lebih asoy boleh naik andhong. Oiya, rata-rata tariff
andhong itu 30 ribu sekali keliling. Puas foto-foto kami bersiap check out
karena udah lumayan siang. Karena sepanjang jalan hujan deras, jadi ya kami
nggak bisa mampir kemana-mana lagi dan langsung
menuju Solo dengan jalur Wonogiri – Sukoharjo – Solo. Jadi ya segitu
dulu aja tentang Pacitannya. Mau di certain engga jalan-jalan lanjutannya dari
Solo lalu ke Jogja lagi sebelum balik ke Jakarta? Nanti yaa. Sekarang kerja
dulu ngumpulin modal nikah jalan-jalan. Dadaahh.
28 Januari 2017,
Dita
28 Januari 2017,
Dita
0 komentar