Rakutak yang bikin Rakuat (naik gunung berbonus danau)

by - 22.35.00


Sebenernya ini perjalanan udah kelewat lama buat dibikin ceritanya. Tapi berhubung barusan iseng buka-buka galeri dan nemu foto nya, jadi tiba-tiba kangen . #tsaahh..


jadi kepengen ngulang kisahnya. Nggak lewat pendakian lagi sih, cuma catatan perjalanannya aja. Dan beginilah sepenggal cerita dari Rakutak dan Ciharus ..

Rakutak, gunung berketinggian 1922mdpl ini memang nggak setinggi gunung-gunung lain yang terkenal di Jawa Barat. Pun danau Ciharus, yang ada di kakinya, juga nggak sepopuler Ranukumbolo nya Semeru. Tapi keduanya layak dicoba, karena gunung ini memang kecil-kecil cabe rawit. Tinggi yang dibawah 2000mdpl,tapi jalurnya cukup bikin geleng-geleng kepala.

Terminal Leuwi panjang, Bandung, dini hari. Kira-kira waktu itu pukul empat. Pinggiran jalanan sekitar terminal tetap ramai. Pedagang buah, oleh-oleh, warung makan hingga tukang ojek yang ribut menawarkan tumpangan. Kami bersembilan jalan ke 'markas' yang bakal disinggahi untuk dua hari kedepan. Ya, perjalanan kali ini kami akan mendaki gunung Rakutak dari jalur desa Sukarame dan turun melalui jalur lain ke arah danau Ciharus, yang masih ada di kaki Rakutak disisi lain yang masuk kawasan kamojang.

"Mau mandi nggak sit ?" gue nawarin Sita yang masih bertampang setengah sadar. "Males ah, besok aja. Emang mau jalan sekarang apa? Hoaaammm.." Akhirnya hanya cuci muka, dan balik lagi ke tongkrongan. "Santai aja dulu.. tidur, atau ngopi kek," bang Ewin ngomong dengan gaya khas nya. "Nanggung ah. Ntar jam lima kita cari sarapan.." Bang Nasa nyaut.
(dan kemudian sampai jam 06:00 masih pada geletakan di teras)
Karena risih, akhirnya gue mandi duluan. Disusul Icha dan Sita. Nggak lama yang lain pada beberes juga. Kota Bandung pagi itu cerah, secerah hati gue *eaaa.  

Kami menyambangi beberapa warung makan. Setelah gelengan, anggukan, debat kecil dan bolak-balik, akhirnya warung makan khas sunda yang nyempil diantara bengkel dan rumah warga itu jadi pilihan. Makan dengan lahap, balik ke markas dan packing ulang. Udah mulai panas, sekarang jam 09:00. Keluar ke jalan raya dengan keril masing-masing. Sandi dan bang Ewin sibuk menawar angkot yang bakal ngebawa kita ke basecamp gunung Rakutak.  Nggak pake lama langsung cuss ke TKP. Dari terminal Leuwi panjang ke desa Sukarame memakan waktu sekitar dua jam. Lumayan buat merem sebentar.




Akhirnya sampai juga di desa Sukarame. Lapor ke basecamp, doa bersama dan... mulai lah kami nanjak. Dari basecamp  kami melewati ladang-ladang penduduk. Dan ini cukup lama, karena faktor tanah merah yang licin. Gue dan bang Nasa sempet jenuh karena udah jalan dua jam masih aja ketemu sama ladang. Hahaha... Azam masih kalem dan pasang tampang sok nyantai (meski badannya juga udah basah keringat).
Aldy, yang udah pernah mendaki Rakutak sebelumnya, berjalan paling depan. Eits, dia masih kelas dua SMA loh. Sedangkan bang Wisnu cuma memandangi gunung di seberang, gunung Malabar.
Setelah habis ladang penduduk, kami sampai di pos 1. Kira-kira jam 12:00. Kami bertemu rombongan lain yang jumlahnya lebih banyak. Sempet was-was, bakal kebagian lapak buat nenda atau enggak. Pos 1 ini cuma ditandai dengan gubuk kecil, dan dibawah nya ada sumber air. Kami nggak berlama-lama disitu. Karena mengejar waktu, yang sudah ditargetkan untuk sampai di puncak sebelum malam. Oh iya, Rakutak punya 2 puncak. Target untuk buka tenda setidaknya di puncak 2. Langkah-langkah kami pun mulai dipercepat. Selain mengerjar waktu, katanya di gunung ini hujan hampir setiap hari turun, biasanya sekitar pukul 17:00 atau sebelum maghrib. 


Hampir nggak ada bonus di jalur pendakian. Jalurnya sempit, rumput tinggi di kanan-kiri, dan ada beberapa tanaman berduri yang kalau salah pegang, bisa nusuk dan bikin pedih di kulit.
Berjalan tiga jam dari pos 1, kami sampai di tegal alun. Katanya sih ini dibilang juga sebagai pos 2. Tegal alun semacam tanah datar yang muat didirikan dua tenda. Sampai disini langit mendung dan sudah memasuki kawasan hutan yang cukup rapat. Hawa dingin mulai terasa. Semilir angin bercampur embun bikin badan merinding. Sandi dan Aldy turun ke bawah yang kabarnya ada sumber air disana. Sementara yang lain rehat dan mengatur posisi badan yang cukup nyaman untuk istirahat beberapa menit. Lima belas menit, Aldy dan Sandi balik dengan jirigen kosong. "Nggak ketemu," Aldy mengangkat bahu. "Yaudah nggak apa. Jangan boros air ya, sampai puncak nanti udah nggak nemu sumber air." Azam memperingatkan. Kembali teringat 'deadline', kami enggan berlama-lama di tegal alun. Selama fisik masih kuat dan nggak ada kendala berarti, kami akan terus melanjutkan perjalanan. Pukul 15:00 kami kembali menapaki tanjakan-tanjakan yang berupa tanah sempit itu. "Masih nanjak Dit?" teriak bang Wisnu yang jadi sweeper. "Masih ! ayo semangaaaat ..." gue teriak membangkitkan semangat teman-teman. "Sita? aman?" gue memastikan keadaan Sita yang baru perdana naik gunung. Sita mengacungkan jempolnya dan mengangguk.

Hujan turun. Cukup deras hingga kami merasa perlu pakai raincoat. Tapi hujan pun tak menurunkan semangat. Dengan hati-hati kami menapaki tanah licin itu. Sekarang jalur berganti dengan sedikit bebatuan, dan pohon-pohon semakin pendek. Tanda bahwa sebentar lagi akan sampai di puncak. Dan benar saja .. "Puncakkk....!!" teriak Aldy yang sudah lebih dulu di depan. Gue makin gigih meski hujan terus turun. Begitupun teman-teman yang lain, sudah nggak sabar duduk di tanah datar yang nggak lebih dari 10x5 meter berjulukan puncak 2 itu.

Akhirnya semua sampai di puncak. Rombongan yang kami temui di pos 1 tadi tak terdengar suaranya. Mungkin mereka camp di tegal alun. Kami bergegas mendirikan tenda ditengah guyuran hujan. Baju basah dan keril yang cuma berselimut coverbag tak dihiraukan. Satu tenda berdiri sempurna. Yang satu lagi masih proses, agak ribet dibagian pintu tenda nya. Memakan waktu sekitar 30menit, dua tenda berdiri. Satu berkapasitas 5orang untuk kaum adam, (yang sekarang ini jumlahnya 6 orang) dan satu lagi berkapasitas 2 orang untuk tenda kaum hawa (yang sekarang ada 3 orang). Tapi jangan khawatir, flysheet ukuran 3x4 meter dibentangkan diantara dua tenda. Jadi keril para cowok bisa ditaruh diluar tenda tanpa kehujanan. Tapi baru lima menit kami mengeringkan badan di dalam tenda, hujan berhenti. Tinggal kabut dan hawa yang nggak sedingin di tegal alun tadi. Mungkin karena barusan hujan.




Menikmati sore sambil ngobrol ringan dan ngopi di muka tenda. Gunung ini begitu sepi. Kami cekikikan saling lempar candaan. "Laper nih.. masak dong," celetuk bang Nasa. Gue dan Icha motongin sosis, nuget dan tempe. Sita membuat kopi, Sandi memasak nasi. Hari mulai gelap. Tapi sungguh bersyukur, hujan nggak datang lagi. Langit cerah dan ketika melongok ke bawah, citylight Bandung terlihat jelas. Kenyang makan malam, kami belum mau tidur. Masih jam 20:00 . Tiba-tiba bang Nasa menawarkan main game. Sederhana, dimulai dengan hompimpa. Yang kalah akan dapat pertanyaan dari semua orang, dan harus menjawab dengan jujur. Kalau tidak mau menjawab, dia boleh diam. Asal nggak menjawab dengan kebohongan. Yang sudah menjawab boleh menunjuk orang lain lagi dan bertanya. Begitu seterusnya. Sita mendapat giliran pertama. Kemudian Azam, Icha, bang Nasa, Gue sendiri, bang Ewin, Aldy dan Sandi. Sedangkan bang Wisnu sudah masuk tenda dari tadi. Ngakunya sih tidur, nggak tau deh kalau bohongan :p


Yang paling lucu adalah jawaban Aldy saat ditanya bang Ewin bagaimana kesannya mendaki bersama teman-teman yang baru ditemuinya pertama kali. "Aldy teh .. awalnya nerpes. Malu gitu.."
"Hahahaha..." kami semua sudah tertawa begitu mendengar kalimat pertama.
"Sampai salah sebut kak Dita jadi kak Novi, duh ... maap yak kak," ujarnya sambil nyengir. Lalu lanjutnya, "Kalian lucu-lucu orang nya, asik, semangat juga ... tapi sempet takut sih sama bang Wisnu. Soalnya jarang ngomong.. sekalinya ngomong kaku banget. Hehe.. "
"Aldy cerita dooonggg.. kok bisa kenal lama sama bang Ewin ? kenal dimana?" tanyaku ketika dapat giliran bertanya.
"Oh, Aldy mah sama Ewin udah sohib.. ya bro?" dan obrolan malam itu terus berlanjut, mengalir, jadi ajang curhat, sharing pengalaman, dan candaan diantara angin malam.

Kami baru memutuskan tidur ketika sudah jam 00:00 alias tengah malam. Dan gue bangun jam 05:00. Nggak mau melewatkan sunrise. "Pagii.. bangun dong.." dan terdengar sahutan dari dalam tenda. "Pagiiiii..." suara bang Ewin. Nggak lama Sita san Icha juga bangun. Memperhatikan langit yang bersemburat merah. Dan terus memandangi sampai sang surya muncul. Kami sibuk foto-foto. Beberapa balik tidur ke dalam tenda. Menu sarapan pagi ini adalah nasi goreng berlauk tempe ditaburi boncabe. Hahaha. Nikmat nggak ada duanya. Sarapan selesai, langsung berbenah. Baju-baju yang kemarin basah kehujanan lumayan layak pakai lagi setelah dijemur semalaman. Sengaja nggak pakai baju bersih yang tinggal sepasang, karena masih akan camp semalam lagi di danau Ciharus.






Tepat jam 12:00 kami lanjutkan perjalanan. Dari puncak 2 ke puncak utama memakan waktu sekitar 30 menit. Nah, ini nih jalur menantang yang sudah kami tunggu-tunggu dari kemarin, banyak orang menyebutnya 'jembatan shiratal mustaqim'. Ini karena lebarnya hanya sekitar 40cm dan kanan kiri nya jurang yang curam. Belum lagi terpaan angin dan beban keril di punggung. Ekstra waspada. Gue pribadi nggak mau kebanyakan celingukan ke kanan kiri. Fokus di jalanan depan mata aja. 




Akhirnyaaaa... setelah melewati proses menegangkan tadi, kami semua satu persatu sampai di puncak utama. Rehat, keluarin kompor, ngopi, dan sedikit ngemil. Disini kami ketemu  beberapa pendaki lain. Satu jam berlalu, kita langsung cuss lanjutin perjalanan. Dari berbagai info, katanya dari puncak utama ini ke danau Ciharus memakan waktu sekitar empat jam. Kartanya juga, jalurnya cukup jelas. Dan kalau ketemu sungai, itu tandanya kita sudah dekat. Baiklah... mari bergegas. Setidaknya kami nggak mau masih jalan-jalan di jalur dengan kondisi langit gelap. Trek selanjutnya masih nanjak, jalur juga masih sempit. Tapi sepanjang jalan dari puncak utama tadi pemandangannya lebih bagus dan lebih luas. Naik turun beberapa bukit, yang nanan kiri nya masih jurang. Dua jam berlalu... "Eh liat deh! itu danau nya keliatan !" bang Ewin menunjuk lekukan air yang tampak kecil dari tempat kami berdiri. Dan memang iya itu danau. Tapi kok... masih keliatan jauh banget. Bisa dilihat untuk sampai kesitu, kami harus melewati bukit, hutan, dan sungai yang berlipat-lipat jumlahnya. Karena sudah jam 15:00, kami bergegas turun. 




Satu jam kemudian kami kembali memasuki kawasan hutan lebat. Gerimis kembali turun. Sampai akhirnya kami ketemu persimpangan. "Mau ambil yang mana?" tanya Icha. "Bentar gue cek dulu," Sandi melangkah ke jalur yang sebelah kanan. "Ada jalan sih... mau dicoba dulu aja?" katanya begitu balik lagi. Kami semua setuju dan mengambil jalur kanan. Berjalan sepuluh menit... "Mas..mas.." ada suara orang lain dibelakang kami. Ternyata pendaki lain. "Jangan ambil yang ini mas, tadi mustinya ambil yang kiri aja," katanya, mengingatkan. Kami berpandangan. "Tadi saya ada di depan rombongan kalian. Terus kok seperti dengar orang lewat jalan yang kanan. Jalan ini memang searah sama yang kiri, tapi dia (jalur itu) bakal nanjak lagi, dan mungkin melewati bukit meski akan ketemu jalur yang di depan. Saran saya mending ambil yang kiri aja," lanjutnya, panjang lebar.
"Ohhh.. gitu. Wah, makasih ya mas, untung disusulin.. hehe" Azam menepuk pundak mas-mas tadi. "Sama-sama mas, kan kita musti saling mengingatkan.. masa cuek, hehe.." jawabnya, sambil berbalik arah menyusul rombongannya sendiri. Kami pun berbalik arah, dan mengambil jalur yang kiri. Kami terus berljalan naik turun melewati bukit-bukit. Sampai akhirnya, kami sadar kalau sekarang sudah jam enam... ini berarti melewati perkiraan.


"Sungai !" Sita berteriak. Ingat kalau ketemu sungai berarti tandanya sudah dekat dengan danau. Sandi mendadak panik karena sudah lewat maghrib, tapi ternyata sungai  belum juga mengantarkan kami ke arah danau. Kami beberapa kali menyeberangi sungai dengan arus yang deras. Beberapa kali juga gue ketipu sama batuan yang ternyata pas diinjek ambrol. Celana kembali basah kuyup. Kami berpegangan tangan selama berjalan melawan arus sungai. Sita kewalahan. Akhirnya, keril Sita diambil alih oleh Azam. Kami nggak banyak bicara, terus berlajan dan berhenti sebentar untuk ngisi botol-botol kosong dengan air sungai. airnya cukup bersih dan layak diminum (kalau lagi di gunung ya hehe). Langit mulai gelap. Tapi kami lagi-lagi menemui tanjakan. "Sabar, dua bukit lagi," hibur azam. Sampai jam 19:00, kami masih belum menemui pendaki lain atau tanda-tanda dekat dengan danau. Kami berhenti sebentar untuk rehat dan berfikir.
"Kalau sampai jam sepuluh nanti kita nggak ketemu itu danau, kita harus nge-camp," kata bang Wisnu yang di amini kami semua. Kami berhenti di tengah jalur yang sepi, gelap dan sisi kannnya jurang dengan sungai deras didasarnya. Ngemil madu, roti, dan coklat. 30 menit, kami melanjutkan perjalanan. 

Sekarang sudah ada pohon pisang, berarti kami sudah di dataran yang cukup rendah. Jalanan juga mulai jelas, meski belum ketemu dengan pendaki lain. Satu jam berlalu.. kami melihat cahaya seperti api unggun dibawah sana. Seketika menarik napas lega. "Woy.. !" bang Ewin berteriak. "Woy... !" ada sahutan dari arah api unggun itu. Kami bergegas menapaki jalanan yang kanan kirinya kini rumput-rumput sepinggang. Sampai di tempat api unggun tadi, kami bertanya ke arah mana kalau mau ke danau. Mereka bilang tinggal ikuti jlan setapak itu saja. Kami pun lanjut berjalan. pukul 20:00, kami melihat genangan air tenang di sisi kiri. "Wah, ini sudah di danau?" pekik Icha. "Sepertinya ini sumber mata air. Mungkin danau nya di depan," kata bang Wisnu. Benar saja, nggak lama, kami ketemu danau itu, danau Ciharus. Betapa lega nya. Disini, kami bertemu beberapa rombongan. Ada juga beberapa tenda yang sudah berdiri. Segera kami mendirikan tenda. Badan kami bersembilan semuanya basah. Karena hujan, menerobos sungai, dan keringat. Saat dua tenda berdiri sempurna, kami antre untuk berganti baju. Setelah isi tenda rapi, kami sudah bersih dan kering, barulah masak makan malam. Kali ini menu nya adalah nasi, mie rebus dan (lagi-lagi) tempe goreng. Sebenernya mau bikin sayur yang di tumis, tapi harus kecewa karena sayur yang dibawa udah layu dan nggak layak makan. Kami ngopi, ngobrol dan bercanda sampai larut malam sebelum akhirnya tidur.


"Puagiiiiii.... ayo bangun, danau nya cakep lohh.." Gue teriak di depan tenda cowok. "Pagi Dita...." sahut beberapa orang di dalam. Azam, bang Nasa dan bang Wisnu keluar tenda. Sementara Icha dan Sita masih bersembungi dibalik sleepingbag. Danau ciharus pagi hari, astaga, indah dalam sunyi nya. Langit masih keunguan dan kabut berjalan-jalan diatas air (ini istilah dari bang Nasa). Sepi, tenang dan ... sayang pinggirannya  ada sampah. (kenapa ada sampahhhh :/ ) Kami cuma berdiri memandangi danau dan berfoto, sampai akhirnya langit benar-benar terang. Saatnya berkeliling.... hehe. Gue cuci muka di sekitar sumber air yang ada di pinggiran danau. "Dit.. mau mandi nggak?" tawar bng Nasa. "Nggak mau ah, lo mau mandi dimana bang? ntar tiba-tiba ada yang lewat lagi," gue geleng-geleng. "Kemaren gue liat ada sungai kecil tuh diatas sana. Naik dikit, tersembunyi kok. Kanan-kirinya ada pohon-pohon sama rumput tinggi. Ntar gantian jagainnya.." jelas bang Nasa, tapi akhirnya gue tetep nggak mau. Bang Nasa angkat bahu dan menghampiri sungai 'temuannya' yang tersembunyi itu. Setelah ambil air buat dimasak, gue balik ke tenda. Sekarang semuanya udah bener-bener bangun. Ngebilas celana dan coverbag yang penuh tanah semalem, Icha sibuk di pinggir danau. Gue mulai goreng kentang. Sandi, seperti biasa, masak nasi. Bang Ewin nyeduh teh anget. Sita, Azam dan yang lainnya ngayab kemana gue nggak tau. Sepertinya sih mereka melipir ke danau di sisi yang lain.




Sarapan... Diatas trashbag (yang baru dan bersih hlo) rame-rame. Duh, syahdu #halah. Kenyang, Kamimasih sempat santai sebelum berkemas dan packing. Siang jam 12:00, kami mulai turun. Nah, jalur turun yang dari danau ini rupanya sering dipakai para penghobi motor trail. Jadi jalanannya sudah kebentuk jalur-jalur kecil khas bekas dilewatin berkali-kali sama ban motor. Dari sini untuk sampai ke daerah kamojang kita ketemu jalanan aspal yang ada pipa-pipa besar PLTU nya. 



Jalan terus dan keluar dari kawasan PLTU, kami nyewa mobil bak untuk sampai ke jalan raya. Nah, dari jalan raya, kami sewa angkot lahi untuk kembali ke markas. Dan dengan badan yang dua hari nggak mandi, belum lagi baju yang kena tanah disana-sini, perjalanan dua jam ke arah bandung kota jelas kurang nyaman. Tapi dengan dibawa tidur jadi mendingan.. hehe. 


Sampai deh kita di markas. Ayo ayoo.. mandi, makan, dan malamnya kami siap untuk kembali ke Jakarta. Sekian deh cerita Rakutak-Ciharus nya, semoga menginspirasi kalian yang mau kesana dan obat rindu buat yang udah pernah kesana :)

regard,
Naredita

You May Also Like

0 komentar