Suatu waktu di Jogja. Malam tampak manis, meski ramai lalu lalang manusia memenuhi Malioboro. Manis, karena ada kau disisiku. Dan hangat, karena kopi yang kau pesan masih mengepul uap nya. Kau bertanya apakah benar itu arang yang ada di gelas kopimu. Aku mengangguk, dan menjelaskan sedikit fungsi arang yang dicelupkan di kopi pesananmu. Sedangkan es susu pesananku semakin memudar rasanya. Es batu itu mulai mencair dan menyamarkan rasa manisnya. Badanku masih terasa lengket, karena sejak siang kita telah menghabiskan waktu untuk berpindah kota dari Solo ke Jogja.
Pengamen silih berganti datang. Ada yang memainkan lagu modern, kadang lagu campursari, tak jarang tembang-tembang lawas yang syahdu di telinga. Lalu kita bicara akan kemana besok. Tentu kau ingin berburu buku disini. Aku ingin ke Taman Sari. Kemudian setelah membayar kopi dan susu tadi, kau bertanya sedikit pada si penjual jalan untuk ke Taman Pintar, yang tak jauh dari shopping center; surga buku di Jogja. Aku merengek untuk segera balik ke penginapan. Risih dengan keringat yang diterpa asap-asap penjaja makanan.
Esoknya, ku ketuk kamarmu yang bersebelahan dengan kamarku. Rupanya kau sudah bangun. Masih bengkak matamu, dan kulihat baju yang menempel dibadanmu masih sama. Haha aku lupa, perjalanan ini seminggu lamanya, pasti ransel mu penuh dengan alat pendakian dan hanya sedikit baju yang terbawa. Kau mulai gelisah akan pakai baju apa hari ini. Rupanya kau sudah kehabisan baju bersih, tinggal satu-satunya untuk dipakai balik ke Jakarta nanti. Aku melirik pada jaket hitam mu, ah tidak. Mungkin sekarang sudah nampak abu-abu? Kusarankan kau memakainya. Tanpa perlu di dobeli kaos lagi di dalamnya. Dan meski sedikit tak nyaman, akhirnya kau turuti saja saranku.
Masih belum mandi, kita melangkah keluar untuk cari sarapan. Nah, suasana Jogja di hari Rabu pagi begini lebih nyaman. Tak terlalu ramai, orang-orang beraktivitas sewajarnya, dan sayangnya justru sedikit warung makan yang sudah buka. Aku menjatuhkan pilihan pada lontong sayur khas Sumatra, karena kau selalu bilang 'terserah' setiap kita akan makan. Lalu kita sarapan. Tak lama, karena aku mengingatkan sudah jam sembilan dan kita belum siap-siap. Kau membayar selagi aku menyelesaikan suapanku yang terakhir.
Bus ini begitu penuh. Trans Jogja yang kita tumpangi berhenti di halte beberapa meter dari taman pintar. Kita berjalan masuk dan terus melangkah lurus, sampai menemui kios-kios pedagang buku. Aku tersenyum tanpa kau tahu. Sudah kupikirkan, kau pasti akan belanja banyak disini. Lihat, buku-buku lawas itu. Kau menyambangi satu persatu kios dan menawar. Satu, dua, tiga buku.. dan aku masih tetap menungguimu menawar harga buku yang ketujuh. "Maaf," ucapmu segan karena membuatku menunggu lama. Hari telah beranjak siang dan kita masih berkutat di tempat itu saja. Bumi Manusia, kaya Pram, sastrawan kesayanganmu itu. Akhirnya terbeli untukku. Kau sangat ingin aku membacanya. Nah, setelah tumpukan buku di tangan kita terasa cukup berat, akhirnya perut ini mulai merengek untuk di isi ulang. Kau pilih rumah makan sederhana yang tak terang tempatnya, ada di sudut jalan. Kita makan dalam hening karena kau sibuk membolak balik halaman buku '100 tahun kesunyian' yang baru saja kau beli.
Lalu tanpa naik bus lagi, berjalanlah kita ke arah komplek Taman Sari. Tapi sayang, taman air nya sudah tutup. Kusadari sekarang pukul empat sore. Tak apalah, kita susuri saja tembok-tembok tua ini. Oh, ini saja aku sudah cukup puas. Senja di Jogja, diantara tembok tua berukir yang cantik, dan semilir angin yang menenangkan. Ketika jam ku menunjuk ke angka enam, kita telah sampai lagi di jalanan Malioboro. Aku begitu lelah, sehingga jalanan ini tampak seperti berkilo-kilo meter untuk sampai ke gang Sosrowijayan, tempat penginapan yang kita singgahi.
Dan malam kembali datang. Keramaian mulai merayapi jalanan Malioboro lagi. Hmm, lagi-lagi kita makan menu yang sama dengan malam kemarin. Bebek goreng di piringku begitu panas , berminyak dan sulit untuk dimakan. Dengan sabar kau ambil alih piringku. Kemudian membagi daging itu dalam beberapa bagian kecil agar aku mudah memakannya. Kuucap terimakasih dan kita makan dengan tenang. Baru saja kita akan beranjak, hujan turun cukup deras. Terpaksa kita menunggu. Saat hanya tinggal gerimis, aku memaksamu untuk keluar dari warung makan. Tadi kau bilang ingin wedang ronde, maka kita berjalan menembus gerimis untuk mendapati gerobak penjual wedang itu.
"Bagaimana rasanya? Jahe nya pedas?" tanyaku, yang tak ikut memesan.
"Lumayan," jawabmu, sembari menyesap wedang yang masih tampak panas itu.
Sudah pukul setengah dua belas malam. Jalanan mulai sepi, para pedagang telah menutup lapaknya. Gerimis masih jatuh sedikit-sedikit. Lalu kita akhiri malam ini.
Pagi datang. Keril telah rapih dan kita siap untuk kembali ke Jakarta. Sebelumnya memang kita sempatkan mengunjungi Keraton. Hanya kita sempatkan dua kali foto bersama. Itupun terburu-buru, karena kita harus bergegas ke stasiun Lempuyangan. Kali ini tidak jalan kaki. Becak yang digenjot bapak tua itu berjalan pelan-pelan menuju stasiun. Kau mengobrol dengan si bapak tua. Aku mendengarkan sambil mengawasi jalanan. Dan lima belas menit berlalu, sampailah di stasiun.
Peron cukup ramai, dan sekarang pukul lima sore. Kita mengobrol di pinggiran peron tempat khusus merokok. Ya, kau kan perokok. Bercanda ringan sampai akhirnya kereta Jaka Tingkir itu datang. Perjalanan malam memang akan terasa lebih cepat. Sepanjang jalan, pada lenganmu aku bersandar. Kota demi kota terlewati. Meski tetap ramai penumpang bercengkrama, namun aku cuma diam. Memenjamkan mata disampingmu, sambil berharap bahwa Jakarta masih berjarak seribu kilometer lagi.