Kelas
kosong hari ini karena dosen tak datang, dan
aku memutuskan untuk makan saja di kantin sambil mengobrol bersama
kawan-kawan yang lain. Nurul dan Novi mendatangiku saat aku tengah membaca
karakter beberapa gunung di Jawa Tengah. Sedang bergelora dibatinku untuk
melakukan perjalanan lagi setelah selesai UTS semester ini. Belajar dari
beberapa perjalanan kemarin, aku melewatkan gunung dengan karakteristik curah
hujan yang tinggi. Masih teringat bagaimana aku dan empat orang lainnya
berjubel dalam tenda kapasitas tiga orang, ditengah hujan lebat dan diatas
tanah yang miring. Matras dan flysheet tidak terlalu membantu, air dari tanah
yang lebih tinggi turun dan menggenangi isi tenda. Tas-tas carrier kami amankan
di sudut-sudut tenda dengan berselimutkan raincoat. Aku kepayahan menahan rasa
kantuk dan pegal karena meringkuk cukup lama. Sebentar-sebentar ku keluarkan
tangan di mulut tenda, mengecek apakah hujan sudah reda. Masih gerimis, dan aku
nekat keluar untuk sekadar meregangkan kaki. Angin sore dan kabut mulai
memperparah suhu dingin. Tanganku yang tak terlindungi sarung tangan, memucat
dan kaku. Selang kemudian malah terasa seperti ditusuk-tusuk. Kala itu gunung Gede memang sedang ramai, dan
kami belum sempat dapat tempat yang tepat untuk mendirikan tenda. Paginya saat
akan menggapai puncak, jalur-jalur tangga sudah tak ada, berganti dengan
tanjakan-tanjakan tanah, bebatuan dan akar-akar pohon. Makin sulit di tapak
karena licin bekas hujan semalam. Medan seperti itulah yang memang dirasakan
benar-benar merepotkan para pendaki. Namun tentulah itu suatu kenikmatan
tersendiri bagi para penggiat alam. Mereka bisa merasa bagaimana berjuang untuk
bertahan dalam keadaan bagaimanapun di alam bebas. Pendakian ke gunung Gede itu memang aku dan
teman-teman yang lain masih didampingi para senior yang berpengalaman, sehingga
aku tak terlalu khawatir akan menghadapi kesulitan.
Tapi
untuk perjalanan kali ini beda. Aku ingin mencoba melatih diri untuk tak
bergantung pada orang lain di tiap kesempatan kegiatan alam bebas. Adalah
Nurul, yang meminta untuk melakukan pendakian ke gunung Mebabu. Aku tak menolak
setelah membaca banyak artikel tentang gunung berketinggian 3.142 mdpl itu.
Hanya saja dari beberapa blog pendaki yang kubaca, dikatakan bahwa di atas sana
kerap kali badai datang. Dan tak main-main, korbannya pun ada. Tapi kuingat bahwa sekarang memang sedang musim
kemarau, jadi peluang untuk mendapatkan langit cerah lebih besar. “jadi ini
tujuan kita?” tanya Novi dengan makanan masih ada di mulutnya.
“iya. Gimana? Setuju?” aku menyeruput es teh
dihadapanku. Udara Jakarta panas sekali siang ini, dan itu semakin membuatku
merindu untuk menjelajah alam bebas.
“cari TS di forum backpacker atau komunitas jalan-jalan
yang lain..” saran Novi sambil terus membaca artikel di handphone ku. TS adalah
orang yang dianggap telah berpengalaman dan menjadi panutan di perjalanan,
serta mengurus beberapa hal seperti perijinan di gunung dan rute transportasi.
“TS ? kita coba ga ikut forum kali ini. Cari teman
pendaki independen aja..” sahutku.
“tapi itu bakalan repot.
Kita ini bertiga cewek semua. Jauh pula tempatnya. Nanti siapa yang
mesenin tiket, ngatur estimasi waktu, dan lainnya? ” Nurul sepertinya mengamini
pendapat Novi.
“nanti gue cari temen
nanjak, yang udah pernah ke Merbabu. Tapi jangan ikut kelompok yang di
forum-forum, kemarin gue liat tanggal mereka ga sesuai semua sama kita. Ada
juga ke gunung lain.” Kuambil hp dari tangan Novi dan menjelajah berbagai sosial
mediaku untuk mencari para penggiat alam diluar sana yang mau bergabung bersama
kami. Ada beberapa tanggapan, namun sedikit yang bisa menyesuaikan waktu kami.
Kami bertiga memang ambil waktunya di pertengahan bulan, karena itulah
hari-hari liburan setelah UTS. Dan
Merbabu ini memang tak jauh dari kota asalku, Solo. Jadi kupikir untuk urusan
transportasi bukanlah hal yang perlu diributkan. Banyak yang bisa kutanyai disana, selama ini
aku tak pernah ada masalah bila berkomunikasi dengan orang yang tak dikenal,
sejauh masih menggunakan bahasa jawa yang sopan.
Sampai akhirnya aku
teringat si Ucup, teman SMP ku dulu. Nama aslinya bukan itu sih, tapi Buyung.
Pernah kulihat di sosial medianya di upload foto saat ia sedang melakukan
pendakian.
“Bro, apa kabar?” sapaku
di telepon.
“Heh kecil. Masih ingat
aja kau. Baik. Ada apa nih?” Ucup menjawab dari seberang sana.
“temani aku ke Merbabu.”
“boleh. Asal harinya
minggu sampai selasa.” Jawabnya tanpa basa basi. Untutan pekerjaan membuatnya
tidak bisa libur pada hari dimana kebanyakan orang justru menikmati akhir
minggu atau tanggal merah.
“sebentar..” aku berfikir
sejenak. Rencana awalku dan teman-teman memang di akhir minggu, yaitu jumat,
sabtu dan minggu. Tapi anak ini minta justru pendakian dimulai hari minggu
malam. Tapi sudahlah, kuiyakan dulu saja sebelum dia berubah pikiran.
“oke.” Kataku akhirnya.
“sipp. Nanti kabari lagi
aja gimana rencana selanjutnya. Oya, ngomong-ngomong, kamu berapa orang dari
sana?”
“tiga.”
“dua nya cowok?”
“nggak. Kita bertiga cewek
semua.”
“hah? Bertiga, cewek semua
pula. Ah, pasti kalian merepotkan.” Kagetnya bukan dibuat-buat. Aku tertawa.
Sudah kuduga dia akan enggan kalau menemani tiga cewek ini naik gunung. Apalagi
salah satunya –ya aku ini- dulu selalu dikerjainya saat duduk di bangku SMP.
Dianggapnya aku cengeng. Hah kau lihat saja nanti, dua tahun tak bertemu sejak
reuni terakhir kemarin.
“tenang, mereka juga udah
pernah mendaki kok. Ngga buta-buta amat sama gunung. Kau bawa saja temanmu,
tiga orang lah minimal.” Saranku.
“okelah kalau gitu. Aku
cari teman dulu.” Klik. Sambungan putus. Sepertinya dia sibuk sekali sekarang.
Tapi terbesit rasa aman telah memastikan kemauannya ikut perjalanan ini.
“Gimana Dit? Udah dapet berapa orang?” Nurul berbisik
padaku saat kelas Peradilan Agama siang ini. Aku tampak sibuk memainkan hape
tanpa memperhatikan kelompok yang sedang maju presentasi. Sepertinya mahasiswa
yang lain pun begitu, Cuma bedanya mereka menatap malas pada Rendhi yang sedang
berkicau menjelaskan isi makalahnya. Sedangkan aku mencermati setiap percakapan
di bbm.
“ada temen gue di Solo
satu orang, tapi katanya dia mau ngajak temennya. Yang mau ikut dia sih enam
orang. Tapi yang fix baru empat. Terus ada lagi orang boyolali, mas Bayu. Belum
kenal langsung sih, gue baru nemu dia di grup pendaki di fb, tapi dia mau
gabung sama kita. Kayaknya dia udah sering naik turun Merbabu deh,” jelasku
panjang lebar.
“wah udah banyak aja..
kalau udah sepuluh ditutup aja, kita kan ga banyak-banyak orang pengennya.”
Nurul mengintip isi percakapanku dengan mas Bayu di bbm.
“apa deh ? kok gue ga
dikasih tau?” Novi menarik-narik lengan Nurul.
“ih berisik, pelan aja
napaa.. itu Dita udah dapet temen nanjak, cukuplah untuk satu kelompok.” Jawab
Nurul setelah pura-pura menjitak kepala Novi.
Aku cekikikan melihat
mereka adu mulut. Kembali kukirim pertanyaan-pertanyaan pada mas Bayu tentang
medan, kondisi cuaca, dan hambatan-hambatan yang ada untuk pendakian ini.
Akhirnya sampai juga aku di loket ini, penukaran
tiket online di stasiun Senen. Tiket pulang pergi yang semalam sudah kubeli
lewat telepon, sebab aku malas berdesakan di loket-loket yang senantiasa penuh
ini. Namun yang menunggu kereta Menoreh pagi ini cuma kami berdua, aku dan
Novi. Sehari sebelum keberangkatan, Nurul membatalkan kepergiannya karena
ayahnya sedang sakit dan sangat perlu bantuannya untuk mengurus apotik milik
keluarga mereka. Aku dan Novi tentu saja kecewa, sekaligus iba karena Merbabu
memang adalah pilihan Nurul. Aku saat itu memilih gunung Slamet dan Novi mengidam untuk naik ke
Semeru. Namun dari ketiga pilihan yang paling rendah adalah Merbabu, meski
medannya tidak jauh berbeda. Maka dengan pertimbangan kami tidak ikut kelompok
perjalanan yang ada di forum jalan-jalan, maka diputuskan untuk mendaki ke
pilihan yang paling rendah saja, Merbabu. Aku mendadak sedikit khawatir karena
kusadari KTP ku tak ada di dompet, pasti tertinggal ditoko buku tempatku
fotokopi KTP itu semalam. Bukan itu saja, senter dan sarung tangan ternyata
juga ketinggalan.
“lu gimana sih Dit, bisa
kelupaan KTP, senter sama sarung tangan. Itu penting semua.. gimana kalau kita
ga sempet beli sarung tangan nanti? Lu kan kalo kena dingin selalu tangan yang
sensitif,” Novi menceramahiku. Aku Cuma memandangnya dengan tatapan cemas dan
‘aku juga bingung’. Tapi sudahlah, masih bisa masuk peron dengan menunjukkan
ATM, dan masih ada headlamp pengganti senter genggam, sarung tangan beli saja
nanti di basecamp. Aku mulai merasa was-was dengan perjalanan kami berdua, tapi
aku hanya diam, tak mau membuat Novi ikut cemas. Namun tetap saja semangat
untuk berpetualang masih merajai di hatiku.
Kupandang jam besar yang tergantung di atap peron. Masih
pukul tujuh, kereta datang pukul depalan. Masih ada waktu satu jam. Kukirim sms
ke ayah, ibu, dan rekan-rekan yang menunggu kami berdua di Boyolali. Kukabarkan
bahwa satu jam lagi kami berangkat dan akan tiba di semarang sekitar pukul
empat sore, kemudian langsung oper bus kota ke Boyolali. Tapi diluar dugaan, Ucup mengabarkan bahwa
temannya yang bisa ikut hanya dua orang, total tiga cowok termasuk dia. Tapi
meskipun begitu, dia akan tetap berangkat sore nanti untuk bertemu di basecamp.
Baiklah. Ini mulai diluar perkiraan, yang tadinya ada sebelas orang, kini cuma
lima yang fix. Tapi sudahlah, toh kita akan bertemu pendaki lain nanti,
pikirku.
Kereta jurusan Semarang itu datang. Namanya Menoreh,
kelas ekonomi AC. Kami berdua berdoa dan masuk kedalam gerbong pertama. Tas
carrier kami yang gendut, dipaksa masuk ke kolong bangku. Paper bag berisi
camilan ada di tengah-tengah kami. Dari Jakarta menuju Semarang memakan waktu
delapan jam. Tapi mata ini tak mau tertutup untuk tidur, mungkin kami berdua
sudah tak sabar untuk sampai. Dan akhirnya sampailah kami di stasiun Semarang
Tawang. Kukeluarkan camdig untuk mengabadikan momen ini. Kuambil video
bergantian dengan Novi dengan latar kota semarang sore hari. Tapi kami tak
berlama-lama, sebab masih harus melanjutkan perjalanan ke Boyolali. Tangan
kuayun-ayunkan saat melihat bis bertuliskan tujuan terminal Terboyo. Dari
terminal itu, kami oper lagi bus tujuan Solo, dengan turun di terminal
Boyolali. Setelah kesusahan mengangkat carrier dari bagasi, kucari sosok maas
Bayu seperti yang di foto. Tak lama, karena orang itu langsung muncul di depan
kami. Dengan senyum ramahnya dan jabatan tangan yang akrab, kami saling menyapa
sekaligus berkenalan secara langsung. Dari termnal kami menuju rumah mas Bayu
dulu untuk rencana teknis sekaligus cek peralatan dan logistik. Mobil mas Bayu
melaju santai ditengah keheningan malam kota Boyolali. Masih jam sepuluh malam,
tapi jalanan telah terlihat lengang. Semilir angin masuk lewat jendela yang
terbuka sedikit. Ah, belum-belum sudah kurasakan damai disini. Jauh dari
hiruk-pikuk ibu kota. Sampai di rumah mas bayu, ternyata ada dua temannya
disana yang juga akan ikut mendaki. Mas Ikrom dan mas Gilang. Kami
ngobrol-ngobrol santai, sambil menyeruput teh hangat yang dibuatkan Budhe Sri,
ibu mas Bayu. Rumah sederhana namun hangat dan nyaman, membuatku enggan bertarung
dengan hawa dan air dingin untuk mandi. Bukan hanya itu alasannya, tapi juga
takut sakit sebelum sempat memulai perjalanan.
“gimana perjalanannya
tadi? Menyenangkan?” mas Bayu bertanya.
“ah, belum apa-apa mas,
cuma naik kereta ini. Hehehe.. “ jawabku sambil terus memasukkan kembali
peralatan ke dalam carrier.
“hahaha.. capek nggak?”
candanya lagi.
“belum, cuma males
mandi... hehehe” Novi nyengir.
Jam sebelas malam itu
juga, kami bergegas berangkat ke basecamp Merbabu dengan mobil carteran. Hawa semakin dingin ketika
kami mulai merambat ke kaki gunung.
“lihat itu, Merapi. Gagah
ya..” mas bayu menunjuk sebelah kiri. Serentak kami semua menoleh.
“wah.. iya mas.. “ aku
berdecak kagum.
“eh, tapi itu apa? Sinar
memanjang diatasnya?” celetuk mas Gilang.
Kami masing-masing pun
memperhatikan ke arah langit diatas puncak Merapi. Iya, memang ada sinar
memanjang diatas sana.
“mirip lampu sorot di
PRJ,” canda Novi.
“hahaha lu kira ada pasar
malem disana? “ timpalku.
“Merapi memang penuh
misteri,” kata mas Bayu santai.
Sontak kami semua diam.
“ahh mas Bayu nih, belum-belum sudah cerita hal-hal begitu. Udah ah kita kan
belom naik..” protesku.
“hiiii... ada sih yang
jual pasar malem disana, tapi bukan .....” mas Ikrom yang sejak tadi diam malah
mulai menakut-nakuti.
Aku dan Novi berusaha
menepis pikiran yang macam-macam. Obrolan santai terus bergulir sampai akhirnya
kami tiba di basecamp pak Narto, basecamp paling atas di gunung Merbabu
pendakian jalur Selo. Angin malam disini benar-benar membuatku kaget, karena
jaket sudah kumasukkan kedalam carrier dan hanya kaos lengan pendek yang
kugunakan. Tapi tiu tak terlalu kurasakan, karena pemandangan kota Solo,
Karanganyar, dan sekitarnya pada malam hari sangat indah dari ketinggian ini.
Tak jemu-jemu aku dan Novi memandangi kerlip lampu dibawah sana. Juga terbersit
rasa rindi karena sadar bahwa salah satu kerlip lamu itu adalah lampu dari
teras rumahku, yang akan kukunjungi setelah kuselesaikan pendakian ini.
Kuselipkan doa di tengah malam ini agar perjalanan kami lacar dan aku bisa
bertemu keluargaku dirumah nanti.
Ketika kubalikkan badan,
Merbabu menghadangku dengan badannya yang gagah. Hutan-hutannya gelap pekat,
tampak sepi namun seolah tersimpan suatu energi yang lain. Tak selang berapa
lama, Ucup dan kedia temannya, Talang dan Rian, datang menyusul kami. Akhirnya
lengkap sudah kelompok ini, delapan orang,
yaitu enam cowok dan dua cewek. Kami membicarakan estimasi waktu dan
bernyanyi ditengah-tengah pendaki lain di basecamp itu. Kami saling sapa dengan
pendaki lain, kebanyakan dari mereka sudah turun gunung malam ini dan akan lanjut
ke Merapi atau pulang ke tempat asal mereka masing-masing.
Kami masih terjaga hingga
pukul dua pagi, dan menyadari bahwa kelompok yang melakukan pendakian senin
pagi ini hanya kelompok kami saja. Tapi biarlah, dengan doa dan semangat pasti
kami dapat melaluinya.
Subuh datang. Kami berdelapan takjub dan dibuat
berdecak kagum dengan sunrise pagi ini, dan senang sekali karena belum-belum
sudah dapat bonud pemandangan secantik ini. Sinar orange kebiruan muncul
perlahan. Awan-awan tipis menggantung, matahari masih malu-malu. Kembali
kutatap Merbabu. Sebentar lagi perjalanan ini dimulai.
(bersambung)
0 komentar