Catatan Perjalanan : MERBABU, 15-17 SEPT 2013 (part 1)

by - 18.51.00


Kelas kosong hari ini karena dosen tak datang, dan  aku memutuskan untuk makan saja di kantin sambil mengobrol bersama kawan-kawan yang lain. Nurul dan Novi mendatangiku saat aku tengah membaca karakter beberapa gunung di Jawa Tengah. Sedang bergelora dibatinku untuk melakukan perjalanan lagi setelah selesai UTS semester ini. Belajar dari beberapa perjalanan kemarin, aku melewatkan gunung dengan karakteristik curah hujan yang tinggi. Masih teringat bagaimana aku dan empat orang lainnya berjubel dalam tenda kapasitas tiga orang, ditengah hujan lebat dan diatas tanah yang miring. Matras dan flysheet tidak terlalu membantu, air dari tanah yang lebih tinggi turun dan menggenangi isi tenda. Tas-tas carrier kami amankan di sudut-sudut tenda dengan berselimutkan raincoat. Aku kepayahan menahan rasa kantuk dan pegal karena meringkuk cukup lama. Sebentar-sebentar ku keluarkan tangan di mulut tenda, mengecek apakah hujan sudah reda. Masih gerimis, dan aku nekat keluar untuk sekadar meregangkan kaki. Angin sore dan kabut mulai memperparah suhu dingin. Tanganku yang tak terlindungi sarung tangan, memucat dan kaku. Selang kemudian malah terasa seperti ditusuk-tusuk.  Kala itu gunung Gede memang sedang ramai, dan kami belum sempat dapat tempat yang tepat untuk mendirikan tenda. Paginya saat akan menggapai puncak, jalur-jalur tangga sudah tak ada, berganti dengan tanjakan-tanjakan tanah, bebatuan dan akar-akar pohon. Makin sulit di tapak karena licin bekas hujan semalam. Medan seperti itulah yang memang dirasakan benar-benar merepotkan para pendaki. Namun tentulah itu suatu kenikmatan tersendiri bagi para penggiat alam. Mereka bisa merasa bagaimana berjuang untuk bertahan dalam keadaan bagaimanapun di alam bebas.  Pendakian ke gunung Gede itu memang aku dan teman-teman yang lain masih didampingi para senior yang berpengalaman, sehingga aku tak terlalu khawatir akan menghadapi kesulitan.

                Tapi untuk perjalanan kali ini beda. Aku ingin mencoba melatih diri untuk tak bergantung pada orang lain di tiap kesempatan kegiatan alam bebas. Adalah Nurul, yang meminta untuk melakukan pendakian ke gunung Mebabu. Aku tak menolak setelah membaca banyak artikel tentang gunung berketinggian 3.142 mdpl itu. Hanya saja dari beberapa blog pendaki yang kubaca, dikatakan bahwa di atas sana kerap kali badai datang. Dan tak main-main, korbannya pun ada. Tapi  kuingat bahwa sekarang memang sedang musim kemarau, jadi peluang untuk mendapatkan langit cerah lebih besar. “jadi ini tujuan kita?” tanya Novi dengan makanan masih ada di mulutnya.
“iya. Gimana? Setuju?” aku menyeruput es teh dihadapanku. Udara Jakarta panas sekali siang ini, dan itu semakin membuatku merindu untuk menjelajah alam bebas.
“cari TS di forum backpacker atau komunitas jalan-jalan yang lain..” saran Novi sambil terus membaca artikel di handphone ku. TS adalah orang yang dianggap telah berpengalaman dan menjadi panutan di perjalanan, serta mengurus beberapa hal seperti perijinan di gunung dan rute transportasi.
“TS ? kita coba ga ikut forum kali ini. Cari teman pendaki independen aja..” sahutku.
“tapi itu bakalan repot.  Kita ini bertiga cewek semua. Jauh pula tempatnya. Nanti siapa yang mesenin tiket, ngatur estimasi waktu, dan lainnya? ” Nurul sepertinya mengamini pendapat Novi.
“nanti gue cari temen nanjak, yang udah pernah ke Merbabu. Tapi jangan ikut kelompok yang di forum-forum, kemarin gue liat tanggal mereka ga sesuai semua sama kita. Ada juga ke gunung lain.” Kuambil hp dari tangan Novi dan menjelajah berbagai sosial mediaku untuk mencari para penggiat alam diluar sana yang mau bergabung bersama kami. Ada beberapa tanggapan, namun sedikit yang bisa menyesuaikan waktu kami. Kami bertiga memang ambil waktunya di pertengahan bulan, karena itulah hari-hari liburan setelah UTS.  Dan Merbabu ini memang tak jauh dari kota asalku, Solo. Jadi kupikir untuk urusan transportasi bukanlah hal yang perlu diributkan.  Banyak yang bisa kutanyai disana, selama ini aku tak pernah ada masalah bila berkomunikasi dengan orang yang tak dikenal, sejauh masih menggunakan bahasa jawa yang sopan.
Sampai akhirnya aku teringat si Ucup, teman SMP ku dulu. Nama aslinya bukan itu sih, tapi Buyung. Pernah kulihat di sosial medianya di upload foto saat ia sedang melakukan pendakian.
“Bro, apa kabar?” sapaku di telepon.
“Heh kecil. Masih ingat aja kau. Baik. Ada apa nih?” Ucup menjawab dari seberang sana.
“temani aku ke Merbabu.”
“boleh. Asal harinya minggu sampai selasa.” Jawabnya tanpa basa basi. Untutan pekerjaan membuatnya tidak bisa libur pada hari dimana kebanyakan orang justru menikmati akhir minggu atau tanggal merah.
“sebentar..” aku berfikir sejenak. Rencana awalku dan teman-teman memang di akhir minggu, yaitu jumat, sabtu dan minggu. Tapi anak ini minta justru pendakian dimulai hari minggu malam. Tapi sudahlah, kuiyakan dulu saja sebelum dia berubah pikiran.
“oke.” Kataku akhirnya.
“sipp. Nanti kabari lagi aja gimana rencana selanjutnya. Oya, ngomong-ngomong, kamu berapa orang dari sana?”
“tiga.”
“dua nya cowok?”
“nggak. Kita bertiga cewek semua.”
“hah? Bertiga, cewek semua pula. Ah, pasti kalian merepotkan.” Kagetnya bukan dibuat-buat. Aku tertawa. Sudah kuduga dia akan enggan kalau menemani tiga cewek ini naik gunung. Apalagi salah satunya –ya aku ini- dulu selalu dikerjainya saat duduk di bangku SMP. Dianggapnya aku cengeng. Hah kau lihat saja nanti, dua tahun tak bertemu sejak reuni terakhir kemarin.
“tenang, mereka juga udah pernah mendaki kok. Ngga buta-buta amat sama gunung. Kau bawa saja temanmu, tiga orang lah minimal.” Saranku.
“okelah kalau gitu. Aku cari teman dulu.” Klik. Sambungan putus. Sepertinya dia sibuk sekali sekarang. Tapi terbesit rasa aman telah memastikan kemauannya ikut perjalanan ini.

                “Gimana Dit? Udah dapet berapa orang?” Nurul berbisik padaku saat kelas Peradilan Agama siang ini. Aku tampak sibuk memainkan hape tanpa memperhatikan kelompok yang sedang maju presentasi. Sepertinya mahasiswa yang lain pun begitu, Cuma bedanya mereka menatap malas pada Rendhi yang sedang berkicau menjelaskan isi makalahnya. Sedangkan aku mencermati setiap percakapan di bbm.
“ada temen gue di Solo satu orang, tapi katanya dia mau ngajak temennya. Yang mau ikut dia sih enam orang. Tapi yang fix baru empat. Terus ada lagi orang boyolali, mas Bayu. Belum kenal langsung sih, gue baru nemu dia di grup pendaki di fb, tapi dia mau gabung sama kita. Kayaknya dia udah sering naik turun Merbabu deh,” jelasku panjang lebar.
“wah udah banyak aja.. kalau udah sepuluh ditutup aja, kita kan ga banyak-banyak orang pengennya.” Nurul mengintip isi percakapanku dengan mas Bayu di bbm.
“apa deh ? kok gue ga dikasih tau?” Novi menarik-narik lengan Nurul.
“ih berisik, pelan aja napaa.. itu Dita udah dapet temen nanjak, cukuplah untuk satu kelompok.” Jawab Nurul setelah pura-pura menjitak kepala Novi.
Aku cekikikan melihat mereka adu mulut. Kembali kukirim pertanyaan-pertanyaan pada mas Bayu tentang medan, kondisi cuaca, dan hambatan-hambatan yang ada untuk pendakian ini.
               
                Akhirnya sampai juga aku di loket ini, penukaran tiket online di stasiun Senen. Tiket pulang pergi yang semalam sudah kubeli lewat telepon, sebab aku malas berdesakan di loket-loket yang senantiasa penuh ini. Namun yang menunggu kereta Menoreh pagi ini cuma kami berdua, aku dan Novi. Sehari sebelum keberangkatan, Nurul membatalkan kepergiannya karena ayahnya sedang sakit dan sangat perlu bantuannya untuk mengurus apotik milik keluarga mereka. Aku dan Novi tentu saja kecewa, sekaligus iba karena Merbabu memang adalah pilihan Nurul. Aku saat itu memilih  gunung Slamet dan Novi mengidam untuk naik ke Semeru. Namun dari ketiga pilihan yang paling rendah adalah Merbabu, meski medannya tidak jauh berbeda. Maka dengan pertimbangan kami tidak ikut kelompok perjalanan yang ada di forum jalan-jalan, maka diputuskan untuk mendaki ke pilihan yang paling rendah saja, Merbabu. Aku mendadak sedikit khawatir karena kusadari KTP ku tak ada di dompet, pasti tertinggal ditoko buku tempatku fotokopi KTP itu semalam. Bukan itu saja, senter dan sarung tangan ternyata juga ketinggalan.
“lu gimana sih Dit, bisa kelupaan KTP, senter sama sarung tangan. Itu penting semua.. gimana kalau kita ga sempet beli sarung tangan nanti? Lu kan kalo kena dingin selalu tangan yang sensitif,” Novi menceramahiku. Aku Cuma memandangnya dengan tatapan cemas dan ‘aku juga bingung’. Tapi sudahlah, masih bisa masuk peron dengan menunjukkan ATM, dan masih ada headlamp pengganti senter genggam, sarung tangan beli saja nanti di basecamp. Aku mulai merasa was-was dengan perjalanan kami berdua, tapi aku hanya diam, tak mau membuat Novi ikut cemas. Namun tetap saja semangat untuk berpetualang masih merajai di hatiku.

                Kupandang jam besar yang tergantung di atap peron. Masih pukul tujuh, kereta datang pukul depalan. Masih ada waktu satu jam. Kukirim sms ke ayah, ibu, dan rekan-rekan yang menunggu kami berdua di Boyolali. Kukabarkan bahwa satu jam lagi kami berangkat dan akan tiba di semarang sekitar pukul empat sore, kemudian langsung oper bus kota ke Boyolali.  Tapi diluar dugaan, Ucup mengabarkan bahwa temannya yang bisa ikut hanya dua orang, total tiga cowok termasuk dia. Tapi meskipun begitu, dia akan tetap berangkat sore nanti untuk bertemu di basecamp. Baiklah. Ini mulai diluar perkiraan, yang tadinya ada sebelas orang, kini cuma lima yang fix. Tapi sudahlah, toh kita akan bertemu pendaki lain nanti, pikirku.

                Kereta jurusan Semarang itu datang. Namanya Menoreh, kelas ekonomi AC. Kami berdua berdoa dan masuk kedalam gerbong pertama. Tas carrier kami yang gendut, dipaksa masuk ke kolong bangku. Paper bag berisi camilan ada di tengah-tengah kami. Dari Jakarta menuju Semarang memakan waktu delapan jam. Tapi mata ini tak mau tertutup untuk tidur, mungkin kami berdua sudah tak sabar untuk sampai. Dan akhirnya sampailah kami di stasiun Semarang Tawang. Kukeluarkan camdig untuk mengabadikan momen ini. Kuambil video bergantian dengan Novi dengan latar kota semarang sore hari. Tapi kami tak berlama-lama, sebab masih harus melanjutkan perjalanan ke Boyolali. Tangan kuayun-ayunkan saat melihat bis bertuliskan tujuan terminal Terboyo. Dari terminal itu, kami oper lagi bus tujuan Solo, dengan turun di terminal Boyolali. Setelah kesusahan mengangkat carrier dari bagasi, kucari sosok maas Bayu seperti yang di foto. Tak lama, karena orang itu langsung muncul di depan kami. Dengan senyum ramahnya dan jabatan tangan yang akrab, kami saling menyapa sekaligus berkenalan secara langsung. Dari termnal kami menuju rumah mas Bayu dulu untuk rencana teknis sekaligus cek peralatan dan logistik. Mobil mas Bayu melaju santai ditengah keheningan malam kota Boyolali. Masih jam sepuluh malam, tapi jalanan telah terlihat lengang. Semilir angin masuk lewat jendela yang terbuka sedikit. Ah, belum-belum sudah kurasakan damai disini. Jauh dari hiruk-pikuk ibu kota. Sampai di rumah mas bayu, ternyata ada dua temannya disana yang juga akan ikut mendaki. Mas Ikrom dan mas Gilang. Kami ngobrol-ngobrol santai, sambil menyeruput teh hangat yang dibuatkan Budhe Sri, ibu mas Bayu. Rumah sederhana namun hangat dan nyaman, membuatku enggan bertarung dengan hawa dan air dingin untuk mandi. Bukan hanya itu alasannya, tapi juga takut sakit sebelum sempat memulai perjalanan.
“gimana perjalanannya tadi? Menyenangkan?” mas Bayu bertanya.
“ah, belum apa-apa mas, cuma naik kereta ini. Hehehe.. “ jawabku sambil terus memasukkan kembali peralatan ke dalam carrier.
“hahaha.. capek nggak?” candanya lagi.
“belum, cuma males mandi... hehehe” Novi nyengir.

    Jam sebelas malam itu juga, kami bergegas berangkat ke basecamp Merbabu dengan  mobil carteran. Hawa semakin dingin ketika kami mulai merambat ke kaki gunung.
“lihat itu, Merapi. Gagah ya..” mas bayu menunjuk sebelah kiri. Serentak kami semua menoleh.
“wah.. iya mas.. “ aku berdecak kagum.
“eh, tapi itu apa? Sinar memanjang diatasnya?” celetuk mas Gilang.
Kami masing-masing pun memperhatikan ke arah langit diatas puncak Merapi. Iya, memang ada sinar memanjang diatas sana.
“mirip lampu sorot di PRJ,” canda Novi.
“hahaha lu kira ada pasar malem disana? “ timpalku.
“Merapi memang penuh misteri,” kata mas Bayu santai.
Sontak kami semua diam. “ahh mas Bayu nih, belum-belum sudah cerita hal-hal begitu. Udah ah kita kan belom naik..” protesku.
“hiiii... ada sih yang jual pasar malem disana, tapi bukan .....” mas Ikrom yang sejak tadi diam malah mulai menakut-nakuti.
Aku dan Novi berusaha menepis pikiran yang macam-macam. Obrolan santai terus bergulir sampai akhirnya kami tiba di basecamp pak Narto, basecamp paling atas di gunung Merbabu pendakian jalur Selo. Angin malam disini benar-benar membuatku kaget, karena jaket sudah kumasukkan kedalam carrier dan hanya kaos lengan pendek yang kugunakan. Tapi tiu tak terlalu kurasakan, karena pemandangan kota Solo, Karanganyar, dan sekitarnya pada malam hari sangat indah dari ketinggian ini. Tak jemu-jemu aku dan Novi memandangi kerlip lampu dibawah sana. Juga terbersit rasa rindi karena sadar bahwa salah satu kerlip lamu itu adalah lampu dari teras rumahku, yang akan kukunjungi setelah kuselesaikan pendakian ini. Kuselipkan doa di tengah malam ini agar perjalanan kami lacar dan aku bisa bertemu keluargaku dirumah nanti.
Ketika kubalikkan badan, Merbabu menghadangku dengan badannya yang gagah. Hutan-hutannya gelap pekat, tampak sepi namun seolah tersimpan suatu energi yang lain. Tak selang berapa lama, Ucup dan kedia temannya, Talang dan Rian, datang menyusul kami. Akhirnya lengkap sudah kelompok ini, delapan orang,  yaitu enam cowok dan dua cewek. Kami membicarakan estimasi waktu dan bernyanyi ditengah-tengah pendaki lain di basecamp itu. Kami saling sapa dengan pendaki lain, kebanyakan dari mereka sudah turun gunung malam ini dan akan lanjut ke Merapi atau pulang ke tempat asal mereka masing-masing.
Kami masih terjaga hingga pukul dua pagi, dan menyadari bahwa kelompok yang melakukan pendakian senin pagi ini hanya kelompok kami saja. Tapi biarlah, dengan doa dan semangat pasti kami dapat melaluinya.
                Subuh datang. Kami berdelapan takjub dan dibuat berdecak kagum dengan sunrise pagi ini, dan senang sekali karena belum-belum sudah dapat bonud pemandangan secantik ini. Sinar orange kebiruan muncul perlahan. Awan-awan tipis menggantung, matahari masih malu-malu. Kembali kutatap Merbabu. Sebentar lagi perjalanan ini dimulai.
(bersambung)

You May Also Like

0 komentar