Nampaknya masih terlalu dini aku mengumbar rasa. Dia, lelaki paruh baya yang duduk disebelahku itu adalah sosok yang pendiam. Bukan karena malu. Bukan pula tak pandai bicara. Namun kurasa, dia tahu waktu kapan harus bicara, diam, atau sekedar basa-basi. Api unggun terus menyala seiring dengan teraturnya disiram minyak tanah pada kayu-kayu yang perlahan menghitam. Sangka ku, semua mulai cair. Ada sedikit harap bahwa akan kudengar lagi candaannya untukku, atau sekedar basa-basi menanyakan kabar. namun seiring waktu aku hanya mendengar diskusi dan obrolan ringan dari para lelaki di lingkaran api unggun ini. Langit akhirnya cerah, setelah sejak siang hingga sore tempat ini dihujani badai dan petir. Udara lembab membuat perbukitan ini tak terlalu dirasa dingin.
"Sini", ucapnya dengan raut muka ramah dan sedikit senyum. Ditunjuknya sedikit ruang disebelahnya. Aku hanya mengangguk pelan, senyum tipis dan bergeser sedikit maju.
"Kopi?" tawarnya pada lelaki dihadapannya, yang memakai topi rimba. Lelaki bertopi rimba itu mengangguk sembari mengembuskan asap rokok dari mulutnya. Obrolan terus bergulir. Kuperhatikan jam tanganku dengan bantuan cahaya dari api unggun yang mulai redup. Pukul sebelas malam. Tak terasa kantuk sedikitpun dimataku.
Dia, lelaki paruh baya yang sedang kutunggu sapaannya tadi, menoleh untuk kedua kalinya. "Duduklah sini, kenapa dibelakang begitu?" tawarnya lagi, sekarang dia bergeser ke kanan sehingga tempat yang ditunjuknya untukku semakin luas. Akhirnya aku bergeser maju, kali ini tepat disebelah kirinya. Lagu berirama khas daerah Sunda mengalun pelan diantara telinga-telinga kami yang diterpa angin malam.
Harus kuakui, aku rindu padanya. Meski saat ini dia ada disampingku, mulai sedikit mau bicara, namun semua terasa lain. Ada jarak. Ada batasan antara aku dan dia. Batasan itu, adalah perasaan dari orang lain. Sesuatu yang lahir tulus dari hati perempuan yang baru saja datang bergabung diantara kami. Dan aku, berfikir bahwa selepas malam ini, seusai perbincangan kami, dan ketika api unggun ini akhirnya padam, akan berhenti berharap. Aku berhenti berharap untuk dapat melepas seseorang yang ada jauh disana, jauh dari tempatku berpijak sekarang. Dan berhenti berharap untuk bisa menahan lelaki disampingku ini untuk lebih lama berada di hari-hariku.
Akhirnya dia bangkit berdiri. Meski kopi nya masih tersisa setengah, meski api unggun ini terus menyala karena baru saja ditambahkan kayu diatasnya, dan meski belum lewat pukul duabelas malam. Dia berjalan, ke tenda yang disiapkan untuknya, tenda berwarna hijau diujung lokasi perkemahan ini. Baiklah. Akan kuteruskan malam ini bersama yang lain. sepertinya akan disayangkan bila kulewatkan malam penuh taburan bintang, canda tawa, dan pembicaraan yang kaya ilmu seperti saat ini.
Semoga esok pagi semua baik-baik saja, semoga aku bisa memandangnya sebagai seorang yang lain, yang asing seperti dahulu. Terimakasih untuk sapaanmu tadi, yang telah lama tak kudengar.